Sungguh miris menyaksikan beberapa koleksi prasasti batu di Museum Trowulan atau Museum Majapahit di Mojokerto. Batu-batunya pecah di sana-sini, entah apa penyebabnya. Bahkan ada bagian yang hilang, sehingga sulit dibaca secara keseluruhan. Hanya sebagian aksara masih bisa dikenali oleh para epigraf (ahli membaca aksara kuno). Jelas kerugian besar buat kita sekarang untuk memahami sejarah kuno Nusantara.Â
Banyak prasasti amburadul juga sejak lama menjadi koleksi Museum Nasional di Jakarta. Artefak-artefak itu terdapat di lorong kiri dan kanan gedung lama. Selain terpotong-potong atau terpecah-pecah, sebagian besar prasasti dalam kondisi aus dan rusak.Â
Di antara berbagai koleksi Museum Nasional itu, yang agak baik adalah nasib Prasasti Prapancasarapura dari daerah Surabaya. Ketika ditemukan, bagian atas prasasti sudah tidak ada lagi. Diduga kuat sengaja dipangkas karena patahannya merata. Bisa jadi batu besar tersebut akan dijadikan potongan balok-balok batu yang lebih kecil. Terlihat bagian tulisannya sudah ditandai dengan dua pahatan garis melintang dan membujur sehingga sebagian tulisan menjadi rusak. J.L.A Brandes (1913) pernah mengalihaksarakan prasasti itu, tapi masih tidak lengkap.
Jawa Kuno
Umumnya prasasti merupakan perintah raja dan dituliskan pada bahan yang awet. Dengan demikian, perintah sang raja itu tidak mudah hilang bersama berlalunya waktu.Prasasti banyak dikeluarkan pada masa Jawa Kuno, dari abad ke-9 hingga ke-15 Masehi. Bahan yang digunakan adalah batu (gopala prasasti) dan juga logam (tamra prasasti).
Dibandingkan prasasti batu yang berukuran besar, rata-rata prasasti logam berbentuk relatif kecil sehingga mudah disimpan. Bahkan hurufnya tidak mudah rusak atau aus. Prasasti logam umumnya dipelihara dan dirawat dengan baik oleh ahli waris pemilik prasasti. Banyak prasasti tembaga, misalnya, ditemukan masih dalam keadaan relatif baik. Huruf pada prasasti masih jelas dan mudah terbaca.
Ada berbagai penyebab kerusakan prasasti, antara lain sengaja digodam oleh masyarakat sezamannya. Hal ini dialami Prasasti Pereng (856 M), temuan dari Bukit Ratu Baka. Ketika pertama kali dijumpai, prasasti tersebut sudah dalam keadaan berkeping-keping. Â
Kerusakan Aksara
Penyebab kerusakan lain adalah karena batunya lapuk (usang) dan disengaja karena konflik antar kerajaan (perang). Â Prasasti-prasasti dari masa raja Airlangga kebanyakan mengalami nasib demikian. Prasasti Truneng (Turun Hyang) dari masa akhir pemerintahan Airlangga, hancur lebur dalam keadaan rebah sehingga sulit dibaca ulang.