Arkeologi Semu merupakan bagian dari pseudosain sebagaimana tergambar dari pidato ilmiah Dr. Daud Aris Tanudirdjo di FIB UGM, 3 Maret 2016 lalu. Pidatonya itu berjudul Refleksi Kebudayaan: Dari Postmodernisme Hingga Pseudosain.
Mengutip pendapat Sokal (2004), Tanudirdjo mengatakan bahwa postmodernisme merupakan penolakan eksplisit terhadap rasionalitas Masa Pencerahan, melalui wacana atau diskursus teoritikal. Atau bukan pada ranah pengujian data empiris, tetapi lebih berlandaskan pada anggapan relativisme budaya dan pengetahuan. Dengan demikian, ilmu pengetahuan dan sain dianggap tidak berbeda dengan narasi, mitos atau konstruksi sosial lainnya.
Akibat dari itu, "kebenaran" tergantung pada kelompok sosial, sehingga lebih dinilai secara moral atau etik daripada data empiris atau pengetahuan yang ada. Postmodernisme juga melihat sain melegitimasi dirinya sendiri, dengan menghubungkan temuannya terhadap kekuasaan tertentu. Hubungan inilah yang sesungguhnya menentukan apakah suatu pengetahuan absah atau tidak.
Sesungguhnya istilah pseudosain banyak digunakan dengan kesan yang semakin "miring" sejak akhir abad ke-19. Meskipun demikian, batas antara sain dan pseudosain sebenarnya cukup tipis (Sokal, 2004; Raff, 2013; Hansson, 2014; Beyerstein, 1996). Dalam khasanah ilmu pengetahuan atau sain memang ada demarkasi (Hansson, 2014) yang membedakan antara bukan-sain (non-science, misalnya agama dan metafisika) dengan tidak saintifik (unscientific; tidak mengikuti atau konflik dengan kaidah ilmiah).
Istilah pseudosain pertama kali digunakan oleh sejarawan James Andrew pada 1796 untuk menyebut alkemia sebagai "pseudosain yang fantastik". Pseudosain adalah bagian kecil dari kelompok tidak ilmiah. Secara umum, pseudosain selalu memberikan kesan seolah-olah memiliki dasar-dasar penalaran yang sesuai dengan penalaran ilmu pengetahuan atau sain umumnya. Pseudosain juga cenderung menonjolkan metodologi yang canggih dan akurat, serta berada di bawah otoritas ilmu tertentu. Demikian bagian lain pidato ilmiah Tanudirdjo.
Kelemahan data
Masih menurut Tanudirdjo, sesungguhnya pseudosain menyembunyikan sejumlah kelemahan, di antaranya tidak didukung data yang cukup kuat, menggunakan data dengan cara yang tidak tepat, atau data ditafsirkan sesuai dengan kerangka pikirnya. Pseudosain juga biasanya tidak mampu bersifat prediktif, pernyataan-pernyataannya sulit dikonfirmasikan, dan tidak mau mendengar pendapat yang menunjukkan kelemahannya.
Di Indonesia, pseudosain telah mempengaruhi kebijakan pemerintah, misalnya dalam kasus "blue energy” (air menjadi bahan bakar) dan situs Gunung Padang sebagai “piramida tertua” di dunia. Penelitian situs Gunung Padang bahkan bukan dilakukan oleh instansi arkeologi berwenang, sehingga tanpa rancangan penelitian yang lazim. Penelitian yang lebih menjurus ke penelitian geologi tersebut, justru lebih bernuansa politis.
Memang pseudosain telah meningkatkan popularitas situs Gunung Padang. Masyarakat berbondong-bondong ke situs tersebut karena ingin tahu “kehebatan” peradaban Atlantis. Bahkan situs Gunung Padang diberikan status cagar budaya tingkat nasional oleh pihak yang tertekan.
Situs Gunung Padang telah memberi pelajaran berharga buat kita bahwa arkeologi semu atau pseudosain lebih menarik daripada arkeologi murni (arkeologi dasar) dan arkeologi terapan. Betapapun situs Gunung Padang dan warisan-warisan budaya lain perlu dilindungi dan dilestarikan karena semuanya menyangkut kebanggaan akan prestasi nenek moyang kita.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H