Sepanjang hidupnya manusia senantiasa tidak lepas dari kebutuhan akan makanan. Pada masa kini makanan mudah sekali ditemukan. Adanya restoran, warteg, dan tentu saja memasak sendiri, merupakan cara termudah untuk mendapatkan makanan matang.
Namun bagaimana cara orang-orang zaman dulu memperoleh makanan? Karena belum terdokumentasi, maka kita yang hidup sekarang amat sulit memperoleh informasi akurat. Paling-paling kita hanya mampu mereka-reka berdasarkan temuan-temuan arkeologi yang sudah muncul ke permukaan.
Pada masa prasejarah, yakni ribuan tahun yang lalu, upaya mendapatkan makanan mungkin sekali sangat tergantung pada kemurahan alam. Misalnya memburu hewan atau mencari umbi-umbian, lalu diolah dengan cara dibakar. Itu cara memasak yang paling mudah.
Pada masa selanjutnya mereka membudidayakan tumbuhan dan menjinakkan hewan. Pengolahannya juga masih dengan cara dibakar.
Adanya peningkatan peradaban menjadikan jenis-jenis makanan yang dikonsumsi lebih beragam. Cara pengolahannya pun lebih bervariasi. Mungkin bukan sekadar dibakar, tetapi digoreng atau direbus.
Sumber tertulis
Dibandingkan pada masa prasejarah, mengetahui makanan yang dikonsumsi masyarakat Indonesia pada masa kerajaan-kerajaan kuno, relatif lebih mudah. Soalnya, dari masa ini kita diwariskan sumber-sumber tertulis, yakni berupa prasasti, berita Tiongkok, dan karya sastra (naskah kuno). Sebagai perbandingan atau pelengkap digunakan sumber tidak tertulis, yaitu gambar pada relief candi.
Hanya yang masih menjadi kendala, sebagian besar sumber-sumber tersebut berasal dari abad ke-9 dan ke-10 Masehi. Meskipun begitu, sumber-sumber tersebut tetap bermanfaat untuk mengetahui informasi dari abad-abad sebelumnya dan sesudahnya.
Sejumlah prasasti dari dua abad itu banyak memberitakan adanya kelompok pedagang yang menjajakan barang dagangannya dengan cara dipikul. Salah satu jenis bahan makanan yang dijual adalah beras.
Beras adalah bahan dasar pembuatan nasi. Nasi sendiri disebutkan oleh Prasasti Rukam (907 M), Panggumulan (902 M), Sangguran (928 M), dan Taji (901 M) sebagai makanan pokok yang disajikan untuk para pejabat dalam rangka peresmian suatu sima (tanah yang dilindungi).
Selain itu, salah satu relief Candi Borobudur menggambarkan dengan jelas bagaimana padi dan jawawut ditanam orang. Data ini sangat klop bila disesuaikan dengan naskah kuno Ramayana yang menyebutkan kata sawah dan padi. Â Apalagi menurut berita Tiongkok masa dinasti Song (960-1279), produksi utama pulau Jawa adalah padi (Kresno Yulianto Sukardi, 1986).
Dari adanya padi, beras, dan nasi tentu kita dapat menafsirkan bahwa bahan itu dimasak dengan cara ditanak. Sayang, Â terhadap lauk pauknya tidak jelas disebutkan bagaimana cara memasaknya. Sejumlah prasasti (Taji, Panggumulan, Sangguran, Paradah, dan Rukam) hanya menginformasikan jenis-jenis hidangan secara umum, seperti ikan, udang, kepiting, dan kura-kura. Yang kentara adalah berjenis-jenis ikan diolah dengan cara diasinkan karena istilah asinasin dijumpai pada sejumlah prasasti. Mungkin identik dengan lauk ikan asin sekarang.
Selain itu juga dihidangkan kerbau, sapi, babi, kambing, kijang, ayam, dan itik. Kemungkinan salah satu bumbu dapur yang kerap digunakan adalah bawang, sebagaimana diberitakan Prasasti Kubu Kubu (905 M) dan berita Tiongkok dari masa dinasti Tang (618-907). Bahan-bahan makanan itu mungkin digoreng. Hal ini kita ketahui dari adanya istilah lnga (minyak) dan pedagang minyak pada prasasti, meskipun tidak disebut minyak apa yang dimaksud.
Jika saja cara pembuatan masakan-masakan itu tergambarkan lebih jelas, bukan tidak mungkin kekayaan kuliner Indonesia semakin banyak. Untuk itu tentu dibutuhkan berbagai keterampilan untuk mengorek informasi lebih mendalam.
Buah-buahan sebagai sumberdaya pangan juga sering disebutkan sumber-sumber kuno. Relief Mahakarmawibhangga di Candi Borobudur banyak mengungkapkan data itu. Dari hasil penelusuran arkeolog Eddi Sarwono (1985), disimpulkan buah-buahan yang ditampilkan adalah sukun, nangka, dan pisang. Sementara dari naskah kuno Ramayana dijumpai sukun dan  berita Tiongkok masa dinasti Song menyebutkan pisang dan talas.
Prasasti memang tidak menyebut sayur apa yang dimakan oleh masyarakat masa itu. Namun pada sebagian besar prasasti terdapat istilah kuluban dan dudutan, yakni semacam lalap-lalapan. Dengan demikian kita dapat menafsirkan bahwa sayur-sayuran mentah dan yang direbus banyak dikonsumsi masyarakat. Masakan tingkat paling sederhana itu masih dijumpai hingga sekarang.
Tuak
Petunjuk tentang minuman juga terdapat pada sejumlah prasasti dengan dijumpainya kata-kata twak, siddhu, dan cinca. Kata twak (tuak) sebagaimana yang masih dapat dikenali sampai sekarang, mengacu kepada minuman yang terbuat dari nira kelapa. Minuman itu dapat memabukkan seperti yang ditulis oleh berita Tiongkok masa dinasti Tang. Gambar pohon penghasil tuak banyak dilukiskan pada relief Candi Borobudur. Sementara itu, siddhu adalah sirup gula dan cinca adalah sirup yang terbuat dari asam jawa.
Pohon asam, menurut Prasasti Paradah (943 M), dulu banyak terdapat di Jawa. Kemungkinan, asam merupakan campuran rujak, kata yang masih bermakna sama dengan sekarang. Sayang, prasasti tidak menyebutkan buah-buahan apa saja yang menjadi bahan dasar pembuatan rujak itu.
Yang menarik, sejumlah nama buah-buahan tidak dijumpai datanya pada prasasti, namun penggambarannya ditemukan pada relief Candi Borobudur, antara lain jeruk, mangga, dan durian. Diperkirakan durian merupakan bahan dasar pembuatan dodol karena istilah dwadwal terdapat pada Prasasti Sangguran dan Paradah.
Sesungguhnya, sejarah kuliner Indonesia tidak lepas dari peran prasasti, naskah kuno, berita Tiongkok, dan relief candi. Banyak informasi masih tersembunyi di balik sumber-sumber itu. Kalau saja kita bisa mengungkapkannya lebih jauh, pasti warisan Nusantara itu menjadi kekayaan masyarakat masa kini.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H