Hingga kini nama yang masih diperdebatkan adalah Borobudur. Di mata penduduk setempat, Borobudur bermakna “arca di Desa Budur”. Konon, dulu setiap hari penduduk selalu melihat banyak boro (= arca) di Desa Budur itu. Cerita lain mengatakan, nama Borobudur berasal dari pohon budur (pohon bodhi atau pohon kehidupan) yang pernah tumbuh subur di sana.
Dari penelitian ilmiah, J.L. Moens mengartikan istilah budur dengan kota Buddha karena dalam kitab kuno Nagarakretagama penyebutan budur sudah ada. Menurut Poerbatjaraka, nama Borobudur berasal dari kata biara (tempat suci) dan bidur (tempat tinggi), yang kemudian “diplesetkan” menjadi borobudur.
Pada dasarnya penamaan candi tergantung pada tiga patokan. Pertama, berdasarkan legenda yang dikenal luas oleh masyarakat. Kedua, berdasarkan penyebutan yang ada di dalam sumber tertulis, umumnya berupa prasasti dan naskah kuno. Ketiga, berdasarkan lokasi tempat candi itu berada. Namun ketiga patokan itu tidak mutlak.
Disayangkan sampai sekarang masih belum ada nama candi yang menggunakan nama orang, baik penemunya ataupun peneliti pertamanya. Bahkan nama orang atau perusahaan yang mensponsori ekskavasi candi yang masih terpendam. Candi Kimpulan yang ditemukan secara tidak disengaja di kompleks UII Yogyakarta akhir 2009 lalu, diganti dengan nama yang bernuansa pendidikan, Pustakasala. Jadi Candi Kimpulan identik dengan Candi Pustakasala.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H