Namun di Desa Plaosan itu, bukan hanya terdapat satu candi, melainkan dua candi. Kedua candi berdekatan lokasinya. Maka untuk membedakannya, penduduk menamakan candi yang terletak di utara sebagai Candi Plaosan Lor (Bahasa Jawa, lor = utara) dan yang di selatan Candi Plaosan Kidul (kidul = selatan). ‘Gitu aja kok repot’, mungkin begitu pikir penduduk.
Candi Tikus cukup memiliki popularitas tinggi. Pernah beberapa kali dipugar karena dikaitkan dengan kepariwisataan di Jawa Timur. Nama ini diberikan oleh masyarakat Trowulan, karena dulunya di sela-sela tumpukan batu candi yang masih berantakan, banyak dijumpai sarang tikus.
Candi lain yang cukup dikenal adalah Candi Asu (Bahasa Jawa, asu = anjing). Candi ini terletak di kompleks Taman Wisata Candi Prambanan. Disebut demikian karena puluhan tahun yang lalu banyak anjing sering berkeliaran di sekitar serakan batu candi.
Uniknya, nama Candi Asu juga ada di lokasi lain. Berbeda dari yang pertama, Candi Asu yang ini merupakan kekeliruan penyebutan oleh penduduk setempat. Konon dulu di dekat candi tidak dikenal itu, terdapat arca Nandi, yakni arca berujud lembu. Karena penduduk masih awam, mereka menganggap arca itu berujud anjing. Meskipun demikian Candi Asu salah kaprah itu, tetap populer sampai sekarang.
Cara lain memberikan nama pada candi adalah berdasarkan kondisi terakhir candi tersebut. Coba tebak kenapa dinamakan Candi Batu Miring? Usut punya usut, ternyata sewaktu ditemukan batu-batu candinya berada dalam kondisi miring hampir roboh atau menurut istilah penduduk “batu miring”. Lalu akan halnya Candi Watu Gudhig? Sewaktu ditemukan batu-batunya terkena lumut sehingga warnanya berbintik-bintik seperti orang terkena penyakit kulit (Bahasa Jawa, watu = batu dan gudhig = sejenis penyakit kulit).
Karena kebanyakan candi terletak di Pulau Jawa, tentu saja bahasa Jawa amat berperan. Lihat saja nama-nama Candi Pawon (= dapur) karena bagian dalam candi menyerupai dapur; Candi Lumbung karena dulunya dikira tempat penyimpanan padi (= lumbung); dan Candi Bubrah (= rusak atau berantakan) karena bangunan yang tersisa hanya berupa serakan batu.
Yang agak berbeda adalah pemberian nama-nama candi di kompleks Gunung Penanggungan (Jawa Timur). Lebih dari seratus candi terdapat di sana. Maka pemberian nama candi disesuaikan dengan nomor urut penemuan. Artinya yang pertama kali ditemukan, diberi nama Candi I, Candi II, dan seterusnya. Baru pada 1980-an sejumlah candi mulai diberi nama, misalnya Candi XXXVII menjadi Triluko karena berupa tiga candi kecil yang berdampingan letaknya.
Penamaan candi juga sering dilakukan berdasarkan kaidah-kaidah ilmiah. Misalnya saja berdasarkan atribut utama yang terdapat pada candi tersebut. Dinamakan Candi Siwa, karena di dalamnya berisi arca Dewa Siwa. Begitu pula terhadap Candi Brahma, Candi Wisnu, dan Candi Garuda di kompleks Prambanan.
Sejumlah candi, meskipun jarang, pernah dinamakan sesuai dengan apa yang disebutkan dalam naskah kuno. Beberapa candi diketahui disesuaikan namanya berdasarkan kitab kuno Nagarakretagama dari abad ke-14. Contohnya bangunan suci Jajawa menjadi Candi Jawi dan Jajaghumenjadi Candi Jago.
Nama orang