Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ajaran Moral dari Masa Silam

8 Februari 2017   05:47 Diperbarui: 6 Juni 2022   21:46 589
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Relief kura-kura terbang pada Candi Mendut|Foto-foto: Brosur Direktorat Peninggalan Purbakala, 2010.

Masyarakat kuno mempunyai berbagai cara untuk mengajar generasi mudanya. Ajaran yang bersifat mendidik dipandang merupakan tonggak untuk mencapai hidup rukun. Pada masa sekitar seribu tahun lalu, candi merupakan tempat ibadah yang banyak didatangi masyarakat. Maka agar segala ajaran baik tentang kecerdikan, tingkah laku, dan nasihat mudah diserap oleh masyarakat, dipahatkanlah ajaran-ajaran itu pada dinding candi-candi dalam bentuk panil relief.

Kisah dalam relief dibuat beragam, namun yang paling dikenal dalam bentuk fabel. Kisahnya berupa pengalaman dan petualangan tokoh hewan. Dulu fabel bisa diterima dengan baik oleh anak-anak sampai orang dewasa. Ternyata karena populernya, kisah fabel tidak saja dijumpai pada panil candi, tetapi juga digambarkan pada benda-benda lain. “Salah satunya terdapat pada koleksi Museum Nasional Jakarta berupa lencana pajangan. Koleksi itu terbuat dari lempengan emas berukuran lebar 12 cm, diperkirakan berasal dari abad ke-14,” demikian  Agus Aris Munandar, Guru Besar Arkeologi yang banyak meneliti relief candi.

Di situ tergambar dua ekor kera sedang menyeberangi genangan air sambil mengangkut batu-batu di atas kepala mereka. Namun tanpa disangka muncul kepiting hendak menjepit mereka. Kedua kera itu menjerit sambil meloncat-loncat. Adegan itu tampak lucu. Kemungkinan lencana pajangan itu diperuntukkan anak-anak bangsawan Jawa Kuno.

Ajaran moral nenek moyang banyak tergambar dari candi-candi Buddha dan Hindu di tanah Jawa dari berbagai masa. Salah satu kisahnya terdapat pada Candi Mendut. Candi yang bersifat Buddha ini berlokasi tidak jauh dari Candi Borobudur. Kisah fabel pada candi-candi Buddha biasanya bertema ajaran moral, misalnya kebaikan selalu mengalahkan kejahatan, tolong-menolong selalu dibutuhkan, dan kecerdikan mampu menyelesaikan masalah.

Panil batu yang berisi relief memang tidak begitu banyak. Para arkeolog berhasil mengidentifikasinya berdasarkan fungsi candi pada masa dulu. Diketahui bahwa kisah-kisah itu dipahat berdasarkan petikan dari kitab Jataka dan Tantri Kamandaka. Kedua kitab itu dikenal penuh dengan ajaran tamsil ibarat dan falsafah kehidupan yang dalam.

Kisah Kura-kura Terbang

Ada gambar relief yang tampak agak ganjil dan lucu pada Candi Mendut itu. Pada panil berukuran 1,5 meter x 0,75 meter terpahat seekor kura-kura sedang menggigit sepotong kayu, yang dibawa terbang oleh dua ekor angsa dengan cara memegangi kedua ujung kayu menggunakan cakar mereka. Sementara itu di bawahnya dilukiskan beberapa orang sedang berteriak-teriak. Tampak pula dua ekor anjing sedang menengadahkan kepalanya ke atas, mungkin sedang menggonggong. Di bagian lain, masih di dalam bingkai panil yang sama, tampak orang-orang dan anjing sedang memperebutkan kura-kura yang rupanya telah terjatuh ke tanah.

Cerita kura-kura terbang tersebut dipetik dari kitab Tantri Kamandaka,sebuah kitab fabel berbahasa Jawa Kuno. Ceritanya ringan, menarik, penuh amsal, perlambang, dan pendidikan. Dikisahkan, di sebuah danau yang permai dan jernih airnya, tinggal seekor kura-kura. Kura-kura itu bersahabat dengan sepasang angsa suami istri, Cakrangga dan Cakranggi. Persahabatan mereka telah lama terbina. Suatu ketika di musim kemarau saat air danau mulai berkurang, Cakrangga dan Cakranggi minta diri pada sahabatnya itu untuk mengungsi ke sebuah telaga di Gunung Himawan. Ini karena air di telaga tersebut tidak pernah kering walau pada musim kemarau sekali pun. Sang kura-kura rupanya ingin turut mengungsi. Dia pun memohon, “Bawalah aku serta. Di sini aku akan sengsara karena kurang air."

Masalahnya kemudian adalah bagaimana cara kedua angsa itu membawa si kura-kura. Akhirnya mereka mengusulkan agar kura-kura menggigit sepotong kayu dan kedua angsa itu akan mencengkeram kedua ujung kayu sambil terbang. Sebelum terbang kedua angsa berpesan, "Kami akan membawa terbang dirimu, kura-kura. Ingat kamu harus memagut kuat-kuat batang kayu itu dan jangan berbicara apa pun. Jika ada yang menegur, janganlah dijawab."

Segeralah mereka terbang. Kura-kura merasa kagum pada keindahan alam yang dilihatnya dari atas. Tak terasa sampailah mereka di atas ladang Wilanggala. Di ladang itu ada dua ekor anjing jantan dan betina sedang bermain. Ketika mereka menengadah, tampaklah sesuatu yang ganjil, yaitu seekor kura-kura yang bergelayutan pada sepotong kayu yang sedang dibawa terbang oleh dua ekor angsa. Maka berkatalah anjing betina, "Hai, lihatlah! Ada kura-kura dibawa terbang oleh dua ekor angsa!"

Menjawablah si anjing jantan, "Aneh, ya! Tampaknya ada kura-kura tolol sedang belajar terbang pada angsa. Mungkin itu bukan kura-kura, tapi kotoran kerbau kering yang berisi cacing untuk makanan anak-anak angsa."

Mendengar percakapan kedua anjing itu, marahlah si kura-kura. Mulutnya mulai berdenyut-denyut. Karena gusarnya dia tidak ingat lagi pesan angsa sahabatnya. Dia ingin sekali menjawab ejekan itu. Maka dibukalah mulutnya untuk berbicara. Akibatnya tubuh gemuk si kura-kura melayang jatuh berdebam di atas tanah. Kedua anjing itu segera melompat memburu si kura-kura. Keduanya makan besar menikmati daging kura-kura.

Kesimpulan kisah ini dalam kitab Tantri Kamandaka adalah demikian,  "Jika tidak memperhatikan nasihat dari kawan baik dan tidak memahami maksud yang tersirat, hal itu akan membuat celaka. Perlu pula diingat jangan cepat-cepat menerima kata-kata orang begitu saja untuk ditanggapi."

Tak Tahu Membalas Budi

Cerita fabel juga terdapat pada Candi Panataran di Jawa Timur. Berbeda dengan Candi Mendut, Candi Panataran bersifat Hindu.  Berbagai ajaran budi pekerti yang mengandung pembelajaran diselipkan oleh nenek moyang kita di sini, di antara relief-relief cerita lain seperti Ramayana dan Kresnayana.  Misalnya saja cerita tentang buaya yang tak tahu membalas budi.

Relief buaya dan kerbau pada Candi Panataran|Foto-foto: Brosur Direktorat Peninggalan Purbakala, 2010.
Relief buaya dan kerbau pada Candi Panataran|Foto-foto: Brosur Direktorat Peninggalan Purbakala, 2010.
Dikisahkan, seekor buaya tiba-tiba tertimpa sebatang pohon. Beruntung, dia jatuh ke tempat yang berlubang  sehingga mampu menyelamatkan diri. Ketika seekor lembu melintas di depannya, buaya meminta pertolongan. Sang lembu yang baik hati itu pun berhasil menyingkirkan pohon yang tumbang.

Sang buaya yang sudah terbebas kemudian meminta pertolongan lagi agar sang lembu bersedia mengantarkannya ke sungai. Setibanya di sungai, sang buaya bukannya berterima kasih malah menggigit sang lembu. Terjadilah perkelahian seru. Namun karena sang buaya terkenal dengan julukan ’raja air’, maka sang lembu pun terdesak.

Sekonyong-konyong datanglah sang kancil bertindak sebagai wasit perkara. Kancil meminta agar buaya dikembalikan ke tempat kejadian semula sewaktu tertimpa pohon dengan alasan untuk memudahkan penilaian siapa yang benar dan siapa yang salah. Di tempat itu buaya ditinggal sendirian sampai menemui ajal.  Relief ini terdapat pada dinding kolam sisi barat dan bagian belakang arca dwarapala yang terletak di sebelah kanan tangga masuk bagian candi induk sisi utara. Pelajaran yang bisa diambil tentu saja adalah persoalan balas budi dan kebaikan yang dibalas dengan kejahatan.

Sebenarnya di Candi Mendut dan Candi Panataran masih banyak terdapat relief fabel. Belum lagi pada candi-candi lain. Ajaran moral ini telah terpahat selama ratusan tahun di dinding-dinding candi, bahkan ada yang lebih dari seribu tahun. Meskipun begitu, ajaran moral demikian tetap relevan dan abadi sampai kapanpun. Kearifan dari masa lampau ini tentu saja patut menjadi perhatian generasi masa kini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun