Dari berbagai jenis karya seni rupa atau karya grafis, boleh dibilang kepopuleran litografi berada di urutan paling bawah. Apalagi bila dibandingkan dengan lukisan, ibarat langit dengan bumi. Lukisan memang lebih mudah dibuat memakai cat air atau bahan-bahan lain. Sebaliknya untuk menghasilkan karya litografi, seniman memerlukan perlengkapan dan bahan khusus. Ditunjang banyaknya kolektor dan harga yang aduhai, lukisan pun lebih sering diburu. Maka harganya sering kali meroket, terbukti dari banyaknya lukisan yang ditawarkan balai-balai lelang bertaraf internasional.
Karya seni rupa sendiri memiliki banyak jenis. Selain lukisan dan litografi, ada lagi sketsa, patung, keramik, fotografi, seni kriya, dan seni instalasi. Dari semua itu, ada seni grafis yang menggunakan teknik cetak. Sarana yang umum digunakan adalah kertas, plat logam, dan batu.
Teknik litografi menggunakan medium khusus berupa batu limestone. Keunggulan batu tersebut adalah mempunyai kandungan lemak tinggi. Litografi berasal dari kata Yunani, lithos = batu dan graphein = menulis atau menggambar.
Harus Diasah
Proses pembuatan cetak litografi diawali dengan batu limestone yang sudah disesuaikan dengan ukuran gambar yang akan dibuat. Permukaan batu yang akan digambar harus diasah dengan campuran bubuh besi (carborundum) terlebih dulu agar halus. Barulah batu siap untuk digambar.
Media yang dipakai untuk menggambar di atas limestone bisa apa saja, asal mengandung minyak atau lemak. Permukaan batu yang sudah digambar itu harus diberi “Talk”, yang berfungsi untuk memperkuat gambar.
Setelah dibersihkan, sebagaimana diuraikan www.satulingkar.com, batu kembali diolesi gom Arab. Fungsinya melakukan pengasaman pada batu sehingga gambar akan tersimpan dan menjadi cetakan. Sebelum melalui proses pencetakan, tinta yang akan digunakan harus dikentalkan terlebih dulu agar gambar yang dihasilkan menjadi lebih tajam. Batu dipindahkan di mesin cetak, lalu tinta yang sudah dikentalkan itu diratakan pada seluruh permukaan batu menggunakan roll.
Sejak lama sangat sedikit seniman grafis Indonesia yang menggunakan teknik litografi untuk menghasilkan karya. Ini karena material yang tersedia sangat minim. “Tidak banyak pegrafis Indonesia yang mendalami litografi. Umumnya mereka lebih menekuni cukil kayu, serigrafi, dan etsa,” demikian kata Kepala Galeri Nasional Indonesia, Tubagus Andre Sukmana. Seniman Indonesia yang pernah menggarap karya litografi antara lain Tisna Sanjaya. Di Galeri Nasional sendiri ada beberapa koleksi litografi yang tergolong adikarya. Namun kebanyakan merupakan karya seniman-seniman Eropa seperti Jean Lurçat, Hans Hartung, dan Victor Vasarely dari masa 1900-an.
Seniman Eropa
Koleksi litografi yang ada di Indonesia umumnya berasal dari masa abad ke-18 hingga ke-19. Kebanyakan merupakan karya seniman Eropa, terutama Belanda. Itulah kelebihan mereka, yakni selalu membuat dokumentasi.
Pada masa sekarang litografi tersebut menjadi bahan referensi yang berarti karena banyak melukiskan peninggalan sejarah, bangunan kuno, dan suasana masyarakat tempo dulu yang kini sudah tidak ada lagi. Meskipun hitam putih, litografi demikian sering diburu para kolektor.
Pada awalnya objek litografi terinspirasi lukisan Eropa yang mulai dikenal pada 1637, ketika sebuah kapal barang Belanda berlabuh di Batavia. Di antara muatannya terdapat sejumlah lukisan menggambarkan kapal, orang bugil, dan tokoh-tokoh Kitab Perjanjian Lama. Lukisan tersebut merupakan pesanan para pembesar Nusantara, antara lain Sultan Martapura. Abad ke-17 adalah awal lukisan-lukisan Eropa memasuki istana-istana Nusantara. Menurut sebuah dokumen, sebagaimana termuat dalam www.jakarta.go.id, Susuhunan Surakarta menerima kado lima lukisan. Sementara Gubernur Jenderal J.P. Coen mempersembahkan lukisan pelabuhan Amsterdam kepada Sultan Palembang. Raja Bali pun mendapat lukisan kapal Belanda. Rupa-rupanya VOC memasukkan seni lukis dalam kerangka diplomasi.