VOC juga menyertakan beberapa pelukis ke Batavia. Di Batavia para pelukis itu sering kali melayani kebutuhan para saudagar kaya, khususnya elit VOC. Ketika itu setiap gubernur jenderal menginginkan potretnya terpasang di ruang sidang kastil Batavia.
Banyak pelukis kemudian melakukan perjalanan ke Jawa Tengah. Di sepanjang perjalanan mereka mengabadikan monumen-monumen lama. Setiap penjelajahan yang berkenaan dengan flora dan fauna juga menyertakan pelukis. Begitu pula dalam ekspedisi-ekspedisi ilmiah lainnya. Lukisan-lukisan mereka dalam bentuk litografi banyak menghias buku-buku sejarah, arkeologi, dan ilmu alam.
Pada awalnya teknik litografi banyak dipakai untuk membuat peta. Sekarang peta seperti itu termasuk kategori peta kuno sehingga banyak diburu kolektor. Setelah peta, para seniman mulai beralih membuat litografi berdasarkan karya pelukis ternama. Pelukis Indonesia yang karyanya banyak dijadikan acuan adalah Raden Saleh (1814-1880). Karena nilai intrinsik dan sejarahnya tidak diragukan lagi, maka karya litografi dari lukisan Raden Saleh banyak menghiasi museum-museum mancanegara.
Saat ini karya litografi terutama yang kuno, memiliki bermacam fungsi, seperti benda investasi, benda dekorasi, dan sumber sejarah. Dalam berbagai kesempatan lelang, harga sebuah koleksi litografi mencapai ratusan ribu dollar. Tentu saja tergantung keunikan dan nama besar seniman pembuatnya.Â
Senefelder
Teknik cetak litografi ditemukan oleh seorang Jerman, Alois Senefelder pada 1798. Kisahnya bermula ketika Senefelder yang waktu itu amat miskin berusaha mencetak sendiri naskah sandiwaranya. Mula-mula dia mencobanya dengan cara meng-etsa-kan gambar pada pelat tembaga. Tetapi karena harga tembaga relatif mahal, Senefelder mengalihkan perhatian pada batu kapur (limestone).
Selanjutnya, Senefelder mendapat gagasan untuk menuangi batu yang mudah ditulisi dengan larutan asam sendawa, sehingga memungkinkan gambaran di atas batu itu naik. Dia berhasil. Bagian-bagian yang kena lemak, meskipun sedikit termakan asam, mencuat satu milimeter di atas bagian-bagian batu yang termakan asam. Dengan alat cetak primitif itu, Senefelder dapat mencetak 120 lembaran musik dari batu yang telah di-etsa. Etsa adalah proses penggunaan asam kuat untuk mengikis bagian permukaan logam yang tak terlindungi untuk menciptakan desain pada logam. Temuan Senefelder tersebut dikenal sebagai litografi primitif.
Pada abad ke-18 itu hanya pengukir tembaga yang dianggap ahli menggambar pada batu. Para seniman yang telah mengenal teknik tersebut lalu menyesuaikan diri pada teknik baru sekaligus mengembangkan teknik penggambaran sendiri pada batu.
Senefelder juga berhasil membuat ukiran batu. Batu tersebut, setelah diberi tinta cetak, direkatkan pada kertas yang terlebih dulu dibasahi.
Sebenarnya, penggunaan batu merupakan penyempurnaan dari teknik-teknik sebelumnya yang menggunakan kayu. Kayu memang lebih mudah diukir, tetapi kelemahannya kayu lebih mudah aus dibandingkan batu. Akibatnya, hasil cetakan yang diperoleh sangat minim.
Begitu pun batu. Para seniman menganggap batu masih terlalu lunak. Bahkan batu dipandang tidak mampu menampilkan detail gambar. Maka diciptakanlah alat yang berbahan kuningan. Ternyata, selain lebih keras dari batu, bahan ini mampu menghasilkan detail gambar dan tekstur yang lebih baik. Hasil cetakan pun menjadi lebih banyak. Namun seniman litografi belum merasa puas juga. Lama-kelamaan pelat-pelat baja banyak menggantikan peran kuningan dan logam-logam lain karena sifatnya yang tahan lama.
Litografi yang paling kuno sebenarnya sudah dikenal pada abad ke-16, jauh sebelum Senefelder menuangkan gagasannya. Karya-karya litografi dari masa itu memang masih jauh dari memuaskan. Tetapi justru bentuk itulah yang paling dicari kolektor.