Selama ini kita hanya mengenal museum sebagai tempat untuk memamerkan koleksi benda-benda kuno saja. Memang tampaknya citra museum sudah demikian, identik dengan benda-benda kuno. Namun sesungguhnya, museum pun dituntut memiliki fungsi sosial. Museum ada karena masyarakat, ini tidak boleh diabaikan. Jadi sudah sepantasnya museum harus dekat dengan masyarakat. Dari sekian banyak museum, tampaknya baru Museum Kebangkitan Nasional yang melakukan hal itu: bersahabat dengan masyarakat.
Akhir 2013 terjadi kebakaran di perkampungan warga yang berlokasi dekat museum. Karena tidak ada tempat penampungan, Museum Kebangkitan Nasional menjadi rumah kedua bagi warga untuk sementara waktu. Kepala Museum Kebangkitan Nasional, R. Tjahjopurnomo pun memberikan tempat kepada Palang Merah Indonesia (PMI). Dapur umum didirikan di halaman belakang museum, sementara di lorong didirikan pos kesehatan.
Museum Kebangkitan Nasional terbilang istimewa dan unik. Sebagai upaya pelibatan publik untuk memanfaatkan ruang-ruang yang ada, sejak 2014 Museum Kebangkitan Nasional menyelenggarakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk warga sekitar. Setiap pagi belasan anak usia sekitar tiga tahun bermain dan bernyanyi di ruangan paling belakang. Mereka dibimbing oleh beberapa orang guru.
Bukan hanya itu, Museum Kebangkitan Nasional menyelenggarakan latihan tari gratis bagi warga yang berminat. Kegiatan ini merupakan sumbangan Yayasan Belantara Budaya. Jadi pihak museum tidak mengeluarkan biaya, cuma menyediakan tempat.
Dalam berbagai kegiatan seperti lomba cerdas tangkas, upacara Harkitnas, diskusi museum, diskusi sejarah, dan pameran tokoh, Museum Kebangkitan Nasional selalu mengundang warga sekitar. Bahkan untuk menyediakan konsumsi bagi peserta kegiatan, pihak museum sering kali melibatkan ibu-ibu rumah tangga dari wilayah sekitar.
Nama Museum Kebangkitan Nasional memang belum tenar. Boleh dibilang karena lokasinya terhimpit. Hanya ada sedikit kendaraan umum yang lewat di depan museum. Taksi atau bajaj pun agak bingung kalau kita bilang Museum Kebangkitan Nasional. Sopir-sopir mengenalnya Gedung STOVIA. Ada memang Transjakarta, tapi tidak berhenti di depan museum. Kalau dari arah Pulogadung atau Senen, kita turun di halte Atrium. Kalau dari arah Harmoni, kita turun di halte Kwitang. Dari halte-halte itu kita cukup berjalan kaki karena jaraknya hanya sekitar 300 meter.
Awal berdirinya pendidikan kedokteran di Indonesia ini, berkaitan dengan pemberantasan berbagai penyakit menular (tipes, kolera, disentri) yang tersebar di daerah Banyumas dan Purwokerto pada 1847. Wabah penyakit tersebut tidak dapat diberantas oleh tenaga medis pemerintahan Hindia Belanda yang jumlahnya terbatas. Begitu juga dengan cara pengobatan yang telah ada pada waktu itu (tradisional), sehingga ada usul dari Kepala Jawatan Kesehatan Dr. W. Bosch untuk mendidik beberapa anak bumiputera menjadi pembantu dokter Belanda.
Pada 1849 keluar keputusan Gubernemen yang menetapkan bahwa di rumah sakit militer akan dididik 30 pemuda Jawa dari keluarga baik-baik serta pandai menulis dan membaca bahasa Melayu dan Jawa untuk menjadi dokter pribumi dan “vaccinateur” (mantri cacar). Selesai pendidikan mereka harus bersedia masuk dinas pemerintahan sebagai mantri cacar.
STOVIA merupakan penyempurnaan dari sistem pendidikan kedokteran Sekolah Dokter Jawa yang didirikan pada 1851 di Rumah Sakit Militer Weltevreden (sekarang RSPAD Gatot Soebroto). Sekolah Dokter Jawa menempati salah satu bangunan yang ada dalam rumah sakit militer, karena pengajarnya merangkap sebagai dokter di rumah sakit tersebut.
Aktivitas pendidikan dan asrama Sekolah Dokter Jawa yang berlangsung setiap hari dinilai mengganggu kenyamanan rumah sakit. Karena itu dewan pengajar memutuskan untuk memindahkannya dari lingkungan rumah sakit militer Weltevreden. Pada 1899 Direktur Sekolah Dokter Jawa Dokter H.F. Rool, mulai melaksanakan pembangunan gedung baru di samping rumah sakit militer.
Tanggal 1 Maret 1902 gedung tersebut secara resmi digunakan untuk pendidikan kedokteran. Asrama yang dibuat, dilengkapi berbagai macam fasilitas yang dibutuhkan oleh penghuninya. Gedung baru tersebut menjadi tempat belajar dan tempat tinggal yang menyenangkan, karena lingkungan sekitar gedung sangat asri. Demikian menurut Buku Panduan Museum Kebangkitan Nasional, 2013.
Gedung ini juga selalu dikaitkan dengan Boedi Oetomo, organisasi yang didirikan pada 20 Mei 1908. Dari gedung inilah muncul organisasi pergerakan yang melahirkan Hari Kebangkitan Nasional.
Mulai Juli 1920 kegiatan pendidikan STOVIA pindah ke gedung baru di Salemba, sekarang RSCM. Pada 1926 semua aktivitas di Gedung STOVIA dipindahkan ke Salemba, termasuk asrama para pelajarnya.
Mengingat peran Gedung STOVIA yang sangat besar, pada 6 April 1973 gedung itu mulai dipugar oleh pemerintah DKI Jakarta. Peresmiannya dilakukan pada 20 Mei 1974 oleh Presiden Soeharto. Pada 7 Februari 1984 pemerintah melalui Menteri Pendidikan dan Kebudayaan menyelenggarakan sebuah museum di dalam Gedung Kebangkitan Nasional dengan nama Museum Kebangkitan Nasional.
Kemungkinan, kalau tidak ada organisasi pergerakan Boedi Oetomo kita lambat merdeka. Setelah Boedi Oetomo muncul pula organisasi kepemudaan dan keagamaan yang bertujuan untuk Indonesia merdeka.
Banyak tokoh sejarah dan peristiwa sejarah di Gedung STOVIA atau Museum Kebangkitan Nasional. Silakan berkunjung untuk mengetahui bagaimana perjuangan para pendahulu kita. Setidaknya untuk cerminan pada masa kini agar sesama bangsa tidak saling gontokan.
Karcis masuk museum ini relatif murah, cuma Rp2.000. Tapi pengetahuan yang bakal didapat dari sana sungguh luar biasa. Kita bisa belajar kepahlawan para pemuda dari berbagai etnis bersatu padu melawan penjajah.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H