Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Keunikan Museum Kebangkitan Nasional, Memiliki PAUD dan Poliklinik untuk Masyarakat

29 Desember 2016   16:54 Diperbarui: 29 Desember 2016   17:04 169
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
PAUD pada ruang belakang (Dokpri)

 

Selama ini kita hanya mengenal museum sebagai tempat untuk memamerkan koleksi benda-benda kuno saja. Memang tampaknya citra museum sudah demikian, identik dengan benda-benda kuno. Namun sesungguhnya, museum pun dituntut memiliki fungsi sosial. Museum ada karena masyarakat, ini tidak boleh diabaikan. Jadi sudah sepantasnya museum harus dekat dengan masyarakat. Dari sekian banyak museum, tampaknya baru Museum Kebangkitan Nasional yang melakukan hal itu: bersahabat dengan masyarakat.

Akhir 2013 terjadi kebakaran di perkampungan warga yang berlokasi dekat museum. Karena tidak ada tempat penampungan, Museum Kebangkitan Nasional menjadi rumah kedua bagi warga untuk sementara waktu. Kepala Museum Kebangkitan Nasional, R. Tjahjopurnomo pun memberikan tempat kepada Palang Merah Indonesia (PMI). Dapur umum didirikan di halaman belakang museum, sementara di lorong didirikan pos kesehatan.  

Museum Kebangkitan Nasional terbilang istimewa dan unik. Sebagai upaya pelibatan publik untuk memanfaatkan ruang-ruang yang ada, sejak 2014 Museum Kebangkitan Nasional menyelenggarakan Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD) untuk warga sekitar. Setiap pagi belasan anak usia sekitar tiga tahun bermain dan bernyanyi di ruangan paling belakang. Mereka dibimbing oleh beberapa orang guru.

Poliklinik di Museum Kebangkitan Nasional (Dokpri)
Poliklinik di Museum Kebangkitan Nasional (Dokpri)
Museum Kebangkitan Nasional juga menyediakan Poliklinik, bekerja sama dengan Puskesmas Kecamatan Senen. Warga sekitar boleh memeriksakan kesehatan di sini. Ruang Poliklinik ada di dekat pos keamanan museum, tidak jauh dari pintu masuk. Lokasinya berdampingan dengan Ruang Penyajian dan Layanan Edukasi.

Bukan hanya itu, Museum Kebangkitan Nasional menyelenggarakan latihan tari gratis bagi warga yang berminat.  Kegiatan ini merupakan sumbangan Yayasan Belantara Budaya. Jadi pihak museum tidak mengeluarkan biaya, cuma menyediakan tempat.

Dalam berbagai kegiatan seperti lomba cerdas tangkas, upacara Harkitnas, diskusi museum, diskusi sejarah, dan pameran tokoh, Museum Kebangkitan Nasional selalu mengundang warga sekitar. Bahkan untuk menyediakan konsumsi bagi peserta kegiatan, pihak museum sering kali melibatkan ibu-ibu rumah tangga dari wilayah sekitar.

STOVIA

Nama Museum Kebangkitan Nasional memang belum tenar. Boleh dibilang karena lokasinya terhimpit. Hanya ada sedikit kendaraan umum yang lewat di depan museum. Taksi atau bajaj pun agak bingung kalau kita bilang Museum Kebangkitan Nasional. Sopir-sopir mengenalnya Gedung STOVIA. Ada memang Transjakarta, tapi tidak berhenti di depan museum. Kalau dari arah Pulogadung atau Senen, kita turun di halte Atrium. Kalau dari arah Harmoni, kita turun di halte Kwitang. Dari halte-halte itu kita cukup berjalan kaki karena jaraknya hanya sekitar 300 meter.

PAUD pada ruang belakang (Dokpri)
PAUD pada ruang belakang (Dokpri)
Museum Kebangkitan Nasional terletak di Jalan Abdul Rahman Saleh 26. Lokasinya bersebelahan dengan Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) Gatot Subroto. Museum ini menempati sebuah komplek bangunan peninggalan kolonial Belanda. Dulu bangunan ini pernah dipergunakan untuk sekolah kedokteran STOVIA (School Tot Oplending Van Inlandsche Artsen), yaitu Sekolah Kedokteran Bumiputera.

Awal berdirinya pendidikan kedokteran di Indonesia ini, berkaitan dengan pemberantasan berbagai penyakit menular (tipes, kolera, disentri) yang tersebar di daerah Banyumas dan Purwokerto pada 1847. Wabah penyakit tersebut tidak dapat diberantas oleh tenaga medis pemerintahan Hindia Belanda yang jumlahnya terbatas. Begitu juga dengan cara pengobatan yang telah ada pada waktu itu (tradisional), sehingga ada usul dari Kepala Jawatan Kesehatan Dr. W. Bosch untuk mendidik beberapa anak bumiputera menjadi pembantu dokter Belanda.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun