Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Relief Karmawibhangga Membuktikan Candi Borobudur Bukan Dibangun Oleh Nabi Sulaiman

28 Desember 2016   12:23 Diperbarui: 28 Desember 2016   12:52 2830
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sementara suami tertidur, seorang istri bermesraan dengan pria lain. Ada pula pembunuhan dengan pedang. Kedua perbuatan itu mendapat siksaan di neraka (Dok. Direktorat Purbakala)


Kalau saja Raffles tidak berminat pada sejarah dan kebudayaan Indonesia, mungkin Candi Borobudur masih diliputi kegelapan. Raffles adalah Gubernur Jendral Inggris di Hindia Belanda (1811-1815). Dia berkedudukan di Jakarta tapi banyak berkeliling Pulau Jawa. Sebagai ilmuwan, Raffles menulis buku History of Java.

Pada 1814 ketika sedang berkunjung ke Semarang, dia mendapat laporan adanya sebuah candi di Desa Bumisegoro dekat Magelang. Karena berapresiasi, dia segera menugaskan Cornelius untuk melakukan penyelidikan. Di sana Cornelius menjumpai adanya sebuah bukit yang ditumbuhi pohon-pohon rindang dan semak-semak belukar. Di antara tumbuh-tumbuhan itu tersembul sejumlah batu berukir.

Dibantu sekitar 200 penduduk desa, Cornelius menebangi pohon, membakari semak belukar, dan menyingkirkan puing-puing bangunan. Hampir dua bulan lamanya mereka bekerja. Namun ujud utuh bangunan masih belum berhasil diketahui.

Pada 1817 hingga 1825 diadakan lagi pembersihan. Baru pada 1835 Borobudur kelihatan sebagai bangunan yang berdiri megah. Hartmann, yang waktu itu menjabat Residen Kedu, berhasil mengubah pemandangan di Desa Borobudur. Desa yang tadinya sepi, sejak adanya Borobudur menjadi ramai. Bahkan, masyarakat sekitar banyak mendapatkan bahan bangunan ideal dari lokasi ini. Maka, untuk menyelamatkan candi ini, pemerintah melakukan usaha pemotretan dan penggambaran tangan. Bahan-bahan inilah yang kemudian diterbitkan oleh Leemans menjadi buku monografi (1873).

Namun Candi Borobudur masih tetap terlantar. Batu-batunya tetap berantakan di halaman. Maka pada 1882 ada sebuah usulan untuk membongkar seluruh bangunan dan memindahkan semua reliefnya ke dalam museum khusus. Tapi usulan itu tidak diterima karena dianggap terlalu berisiko untuk kelestarian bangunan. Sebagai tindak lanjutnya,  pada 1900 terbentuk Panitia Penyelamatan Candi Borobudur diketuai Th. van Erp. Berkat van Erp lah, Borobudur menjadi tersohor, meskipun masih ada kekurangan di sana sini. Pemugaran Candi Borobudur pra-kemerdekaan selesai pada 1911.

Banyak pakar menilai pemugaran van Erp memiliki sejumlah kesalahan prosedur. Lagi pula ketika itu teknik dan peralatan konstruksi, masih belum semaju tahun-tahun pasca-kemerdekaan. Maka pasca-kemerdekaan dilakukan lagi pemugaran terhadap Candi Borobudur. Kegiatan ini berawal pada 1971. Ketika itu banyak negara yang tergabung dalam UNESCO, bahu-membahu memberikan sumbangan. Lebih dari 20 negara terlibat dalam pemugaran itu. Akhirnya purnapugar Candi Borobudur diresmikan pada Februari 1983. Begitu kisahnya sebagaimana tertulis dalam dua buku karya arkeolog pertama bangsa Indonesia, R. Soekmono. Kedua bukunya itu berjudul Satu Abad Usaha Penyelamatan Candi Borobudur (1973) dan Candi Borobudur, Pusaka Budaya Umat Manusia (1978).

Karmawibhangga

Sebagai candi terbesar, tentu saja banyak fakta dan misteri menarik tentang Candi Borobudur. Beberapa misteri belum terungkap sampai sekarang, di antaranya persoalan  relief Karmawibhangga.  Saat ini relief tersebut memang tidak bisa dilihat secara langsung. Lokasi relief ini dikenal sebagai ’kaki tertutup’ Candi Borobudur.  

Adanya relief Karmawibhangga diketahui secara tidak disengaja pada 1885. Saat itu Yzerman tengah melakukan penyelidikan. Tiba-tiba ketika sedang membongkar batuan pada salah satu sudut di bagian bawah, Yzerman mendapatkan relief-relief ’aneh’. Itulah yang dikenal sebagai kaki candi asli. Pada  1890-1891, penutup relief dibongkar dan diteliti oleh Ijzerman, sementara Kasijan Cephas memotret relief itu.  

Pembuat dosa tengah dihukum. Mereka menjadi merpati, burung merak, kuda, kerbau, dan kijang (Dok. Direktorat Purbakala)
Pembuat dosa tengah dihukum. Mereka menjadi merpati, burung merak, kuda, kerbau, dan kijang (Dok. Direktorat Purbakala)
Pada zaman pendudukan Jepang (1943), batu penutup relief di bagian tenggara dibongkar secara sembarangan oleh seorang pembesar Jepang.   Ketika itu beredar isu bahwa relief tersebut berupa gambar-gambar tentang situasi neraka.  Namun penutupan kembali tidak sempurna, sehingga banyak batu tercecer. Hingga saat ini, terdapat tiga panel dalam kondisi terbuka.

Dari 160 panel relief, 35 panel memiliki inskripsi yang tertera jelas. Selebihnya mungkin sudah dihapus oleh si pemahat. Inskripsi itu ditulis dalam aksara Jawa Kuna dan berbahasa Sansekerta, bunyinya virupa (wajah buruk). Di bawah tulisan memang teramati ukiran sejumlah manusia yang digambarkan berwajah buruk. Mereka sedang merenung menyesali perbuatan mereka sebelumnya yang menyebabkan terjadinya ’hukum karma’. Inskripsi lain bertuliskan abhidhya (suasana tidak menyenangkan), vyapada (keinginan buruk), dan mitthyadrsti (perbuatan palsu).

Kemungkinan, inskripsi-inskripsi pendek itu tidak dipahat oleh satu orang. Berdasarkan pengamatan terhadap bentuk inskripsi, menurut N.J. Krom, paling tidak ada tiga jenis tulisan yang dibuat oleh tiga orang berlainan. Bahkan dari keseluruhan panel, tercermin adanya puluhan gaya pemahatan yang berbeda.

Inskripsi pendek itu kemudian dimanfaatkan untuk meneliti garis besar cara pembuatan candi. Para pakar meyakini pengerjaan dekorasi, seperti hiasan dan relief, dimulai dari bagian puncak bangunan terus ke bawah. Itu sebabnya ukiran dan pahatan relief pada bagian atas Borobudur tampak dikerjakan dengan sempurna. Sementara pada relief Karmawibhangga masih agak ’amburadul’.Mungkin itu pula sebabnya pada relief-relief di bagian atas bangunan tidak ditemukan inskripsi tentang pedoman pemahatan.

Inskripsi pendek itu dianggap bermanfaat untuk memperkirakan saat pembangunan Borobudur. Berdasarkan perbandingan dengan huruf-huruf Jawa Kuna yang digunakan dalam prasasti-prasasti berangka tahun, maka para pakar menduga bahwa inskripsi itu mirip sekali dengan prasasti-prasasti dari masa akhir abad ke-8 sampai awal abad ke-9 Masehi. Pada saat-saat itulah rupanya Borobudur dibangun.

Sampai kini masih misteri mengapa panel-panel itu ditutup oleh ’kaki tambahan’. Ada dugaan, panel-panel itu terlalu tabu untuk diperlihatkan kepada khalayak. Pada salah satu panel, misalnya,tergambar adegan aborsi dan pada panel lain tampak beberapa figur sedang direbus hidup-hidup.

Beberapa inskripsi singkat yang teridentifikasi (Dok. Direktorat Purbakala)
Beberapa inskripsi singkat yang teridentifikasi (Dok. Direktorat Purbakala)
Dugaan lain, pada saat proses pemahatan mencapai sisi timur laut, muncul persoalan serius dalam teknis bangunan. Ini memaksa para perencana bangunan untuk mengorbankan kaki candi yang sedang dipahat itu, lantas menutupnya. Setelah dikalkulasi, banyaknya batu tambahan tidak kurang dari 13.000 meter kubik. Mungkin sekali lantai batu tambahan diperlukan untuk menguatkan konstruksi bangunan yang sudah memperlihatkan tanda-tanda keruntuhan.

Berbicara Candi Borobudur memang menarik. Banyak tafsiran diberikan oleh arkeolog, sejarawan, seniman, arsitek, dan pakar-pakar lain. Bahkan oleh banyak pakar nyeleneh yang antara lain berpendapat Candi Borobudur dibangun oleh Nabi Sulaiman. Mereka mendasarkan tafsirannya berdasarkan ilmu cocokologi, ngawurlogi,danotak atik matuk.

Dari segi ilmiah, jelas relief Mahakarmawibhangga membuktikan Candi Borobudur bukan dibangun oleh Nabi Sulaiman.   Adanya aksara Jawa Kuno yang merupakan pengaruh dari India dan relief yang dikenal dalam cerita Buddhis menjadi petunjuk utama terhadap penafsiran yang dipaksakan itu.***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun