Salah satu warisan kebudayaan nenek moyang kita yang bernilai cukup penting adalah naskah kuno (manuskrip). Di seluruh Indonesia diketahui banyak terdapat naskah kuno. Naskah-naskah itu ditulis dalam berbagai aksara dan bahasa. Sebagian besar naskah masih tersimpan atau dimiliki masyarakat awam. Biasanya kepemilikan naskah bersifat turun-temurun.
Namun disayangkan, pemeliharaan atau perawatan naskah-naskah tersebut kurang diperhatikan. Akibatnya, banyak naskah kuno yang bernilai sejarah, menjadi rusak atau kotor. Bahkan, cenderung tidak bisa dibaca lagi. Tentu saja hal demikian amat menurunkan kualitas naskah sehingga kandungan isinya menjadi berkurang.
Naskah kuno umumnya tidak mampu bertahan lama menghadapi zaman. Ini karena naskah selalu ditulis pada bahan yang tergolong rapuh, seperti daun tal (lontar), daun nipah, bambu, kulit hewan, dan daluwang (kertas).
Kategori naskah
Dari kajian filologi diketahui naskah-naskah kuno Indonesia terbagi atas 14 kategori, yaitu (1) naskah keagamaan, (2) naskah kebahasaan, (3) naskah filsafat dan folklore, (4) naskah mistik rahasia, (5) naskah mengenai ajaran moral, (6) naskah mengenai peraturan dan pengalaman hukum, (7) naskah mengenai silsilah raja-raja, (8) naskah mengenai bangunan dan arsitektur, (9) naskah mengenai obat-obatan, (10) naskah mengenai arti perbintangan, (11) naskah mengenai ramalan, (12) naskah susastra, (13) naskah bersifat sejarah, dan (14) naskah mengenai perhitungan waktu (Trigangga, 2000).
Sebagai sumber tertulis dari zaman lampau, seharusnya naskah merupakan sumber sejarah yang patut kita diperhatikan. Memang, kekurangan utama naskah dibandingkan sumber tertulis lainnya seperti prasasti adalah naskah jarang menyebutkan nama pengarang dan tahun penulisannya. Yang tertera biasanya nama penyalin dan tahun penyalinannya. Namun sebenarnya naskah mampu mengungkapkan masalah-masalah di luar politik, seperti kebudayaan dan kesehatan.
Diperkirakan di seluruh Indonesia terdapat belasan ribu naskah kuno yang ditulis dalam berbagai bahasa daerah. Kendalanya adalah kita kekurangan pakar yang mampu menangani naskah. Dengan demikian kajian historiografi atas naskah-naskah kuno tersebut masih sangat sedikit. Tidak dimungkiri, banyak masyarakat awam enggan bergelut dengan naskah karena prospeknya kurang menjanjikan. Hambatan lain adalah masih belum adanya buku-buku pegangan tentang naskah kuno.
Saat ini salah satu instansi yang paling banyak mengoleksi naskah kuno adalah Perpustakaan Nasional RI di Jalan Salemba, Jakarta. Lebih dari 10.000 naskah kuno ada di sana. Namun dikabarkan baru sekitar lima persen naskah yang mampu dialihaksarakan dan diterjemahkan. Masalah utamanya adalah kelangkaan tenaga filolog.
Selama ini memang ilmu filologi dipandang tidak bergengsi. Penghasilan sebagai pakar filologi pun dinilai sangat kecil. Jangan heran kalau sampai kini tenaga penerjemah aksara-aksara kuno masih bisa dihitung jari tangan. Itu pun semakin tahun semakin langka karena satu per satu dari mereka mulai tua bahkan meninggal.
Keluhan serupa pun datang dari sejumlah museum di Jawa Barat yang banyak mengoleksi naskah Sunda. Kini tenaga penerjemah naskah Sunda kuno hanya tersisa dua orang. Padahal, naskah-naskah yang perlu ditangani masih berjumlah ratusan. Sepeninggal Saleh Danasasmita, Edi S. Ekadjati, Atja, dan Ayatrohaedi memang boleh dikatakan tidak ada lagi generasi muda yang menekuni dunia filologi Sunda.
Konservasi
Kemungkinan besar hanya sebagian kecil naskah kuno yang tersimpan di lembaga atau institusi pemerintah dan swasta. Sebagian terbesar justru masih berada di tangan warga masyarakat, seperti di kraton, tetua adat, dan keluarga. Dikhawatirkan, naskah-naskah tersebut akan rusak tergerus waktu karena ketidaktahuan masyarakat akan cara-cara perawatan.
Beberapa tahun lalu, berbagai koleksi naskah kuno di kraton-kraton Cirebon, pernah rusak dan hancur digigiti serangga, terutama ngengat. Sebagian lagi lembab karena naskah-naskah tersebut hanya disimpan di dalam peti kayu dan kopor pakaian. Ironisnya, banyak warga masih menganggap naskah kuno itu adalah barang keramat sehingga tabu untuk diperlihatkan kepada masyarakat di luar kraton atau kerabatnya.
Tentu saja prinsip-prinsip konservasi naskah belum dipahami benar oleh sebagian besar pemilik naskah. Padahal sebagai negara beriklim tropis, bahan-bahan naskah mudah rapuh dalam cuaca normal. Idealnya, barang-barang tersebut harus disimpan dalam suhu 18 derajat Celcius.
Secara umum pengguna naskah kuno dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian. Kelompok terbesar adalah para peneliti, penyimpan, dan penata naskah. Karena profesinya, maka mereka memerlakukan naskah dalam konteks pengembangan ilmu pengetahuan.
Kelompok kedua adalah perawat pusaka dan pencari petunjuk. Mereka melihat naskah sebagai benda suci.
Kelompok ketiga adalah pembuat (dari pengarang hingga penyalin) naskah, yang dapat mempunyai berbagai motivasi, seperti komersial dan spiritual (Edi Sedyawati, 2006).
Naskah terbanyak di Indonesia diduga berasal dari daerah sekitar Gunung Merapi-Merbabu. Tercatat sekitar 400 naskah kuno berhasil dikumpulkan dari sebuah padepokan ilmu.
Yang tergolong luar biasa, Indonesia memiliki sebuah naskah kuno dengan cerita terpanjang di dunia. La Galigo namanya, berasal dari daerah Bugis (Sulawesi Selatan). Naskah kuno berbahan kertas itu juga terbilang langka karena berbentuk seperti kaset (mempunyai dua gulungan).
Banyak orang menafsirkan, naskah kuno itu merupakan ilham dari terciptanya kaset oleh bangsa Jepang. Di seluruh dunia, naskah berbentuk pita kaset hanya tinggal delapan buah. Tiga di antaranya terdapat di Indonesia, yakni satu di Perpustakaan Nasional dan dua di Sulawesi Selatan. Sisanya tersebar di beberapa negara.
Pada dasarnya naskah-naskah kuno Indonesia memiliki berbagai keunikan. Di pedalaman Sampit (Kalimantan Tengah), misalnya, pernah ditemukan sebuah Al Qur’an hasil tulisan tangan yang ukurannya hanya sebesar kotak korek api. Sementara Al Qur’an yang pernah ditemukan di Bali hingga kini masih dianggap naskah tertua di dunia.
Naskah terbanyak di Indonesia diperkirakan berupa naskah Melayu karena daerah pendukung bahasa Melayu relatif luas. Selain di Riau, Palembang, Jambi, dan sekitarnya, bahasa Melayu juga digunakan di Sulawesi dan Kalimantan.
Naskah kuno memiliki banyak manfaat. Selain sumber informasi berbagai jenis ilmu pengetahuan, naskah kuno merupakan kebanggaan suatu masyarakat atau daerah.
Ironisnya, manakala bangsa kita tidak memedulikan naskah-naskah kuno, tetangga kita Malaysia, justru pandai memanfaatkan peluang. Sejak bertahun-tahun lalu banyak warga Malaysia kerap berburu naskah-naskah Melayu dari beberapa wilayah Indonesia, antara lain dari Riau, Palembang, dan Jambi hingga ke Indonesia Timur.
Bahkan sejak 2002 lalu banyak budayawan Malaysia masuk keluar kampung berburu naskah Melayu. Mereka memang berambisi mendirikan Pusat Kajian Melayu terbesar di dunia. Naskah-naskah kuno tersebut mereka beli dari keluarga kerajaan/kraton atau warga masyarakat dengan harga tinggi.
Sementara itu dikabarkan, para akademisi Malaysia sering melecehkan para akademisi Indonesia, misalnya terhadap hasil penelitian budayawan Tenas Effendi. Sebagian besar kerja kerasnya bertahun-tahun ternyata sudah “diangkuti” ke universitas terkemuka di Kuala Lumpur. Oleh mereka lalu dibuatkan situs tersendiri. Tragisnya, ketika kita mau menggunakannya, kita justru harus membayar kepada mereka (Kompas, 12/12/2007).
Jelas, dalam berbagai hal kita masih kalah gesit. Bukan hanya perbatasan, naskah kuno pun diincar Malaysia. Mari kita bersama-sama menyelamatkan aset berharga nenek moyang kita itu.***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H