Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Money Artikel Utama

Uniknya Rupiah Pada Masa Pendudukan Jepang di Indonesia

23 Desember 2016   10:55 Diperbarui: 24 Desember 2016   05:30 3580
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Uang Jepang nominal 1 Sen (Dokpri)

Unik

Di kalangan numismatis, mata uang pendudukan Jepang dinilai memiliki beberapa keunikan. Yang pertama, uang kertas bernominal 1 cent atau 1 sen. Mata uang ini dikatakan unik karena umumnya nilai terkecil berupa uang logam (koin). Mungkin ketika itu harga logam mahal sehingga dalam keadaan darurat digunakan lembaran kertas yang lebih murah. Meskipun demikian, koleksi tersebut bukan merupakan koleksi langka. Di pasaran, koleksi seperti itu masih mudah dijumpai, tidak terkecuali yang memiliki grade (tingkat kondisi) Unc (Uncirculated) atau bagus sekali.

Half Gulden (Dokpri)
Half Gulden (Dokpri)
Kedua adalah uang kertas bernominal ½ gulden (half gulden). Yang menjadi masalah adalah penulisan kata ‘half’. Memang ‘half’ dijumpai dalam bahasa Belanda, berarti ‘setengah’ atau ‘separuh’ (W. Van Hoeve, 1992). Namun menurut sejumlah numismatis profesional, seharusnya tulisan yang benar adalah ‘een halve’. Ini mengacu kepada beberapa uang kertas yang diterbitkan oleh pemerintah Hindia Belanda sebelumnya, antara lain seri Muntbiljet II (1920). Jadi apa yang dilakukan Jepang ini sungguh keliru.

Een halve (Dokpri)
Een halve (Dokpri)
Kini kedua mata uang tersebut telah menjadi bagian dari sejarah. Namun tidak tertutup kesempatan untuk digunakan sebagai sumber penelitian tentang sejarah perekonomian kala itu.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun