Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Permainan Egrang yang Hampir Punah

18 Desember 2016   05:57 Diperbarui: 18 Desember 2016   13:25 1481
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Permainan sekaligus perlombaan egrang (Sumber: kompas.com)

Kedatangan alat permainan modern tampaknya tidak bisa dibendung lagi. Game watch, beyblade,danplay station, umpamanya saja, sudah ‘menguasai’ anak-anak perkotaan dan perdesaan sejak bertahun-tahun lalu. Akibatnya anak-anak zaman sekarang tidak lagi mengenal permainan tradisional yang pernah populer pada zamannya.

Salah satu permainan tradisional yang semakin sedikit pendukungnya adalah egrang. Dulu egrang sangat populer di lingkungan masyarakat pedesaan, juga perkotaan. Banyak anak memainkan egrang, sebagai sarana untuk bersantai, mengasah kreativitas, dan menjalin pertemanan.

Permainan egrang sudah dikenal sebelum kemerdekaan 1945. Sebagai bukti, entri egrang sudah terekam di dalam Baoesastra Jawa karangan Poerwadarminta. Buku itu diterbitkan pada 1939, beberapa tahun sebelum diproklamasikannya kemerdekaan kita. Di situ disebutkan kata egrang-egrangan, diartikan dolanan dengan menggunakan alat yang dinamakan egrang. Egrang sendiri diberi makna bambu atau kayu yang diberi pijakan (untuk kaki) agar kaki leluasa bergerak berjalan.

Egrang dibuat secara sederhana dengan memanfaatkan potensi alam. Umumnya egrang menggunakan dua batang bambu, dengan panjang lebih dari satu meter. Beberapa sentimeter dari atas tanah, dibuatkan pijakan. Juga dari bambu yang dipotong melebihi ukuran panjang telapak kaki. Lewat pijakan itulah anak-anak berjalan atau berlari.

Di perdesaan bambu banyak tumbuh di pekarangan rumah atau di pinggir-pinggir sungai. Tidak heran kalau permainan tradisional ini lebih sering dilakukan anak-anak perdesaan daripada anak-anak perkotaan. Bambu yang biasa dipakai untuk permainan ini adalah bambu apus atau bambu wulung. Sebenarnya banyak jenis bambu tumbuh di negeri kita. Misalnya ada bambu petung atau bambu ori yang lebih besar. Namun bambu jenis lain mudah patah, sehingga jarang sekali digunakan, kecuali dalam keadaan terpaksa.

Egrang bisa dimainkan secara individu atau kelompok. Di perdesaan egrang dimainkan siang hari sepulang sekolah atau di saat menggembala ternak. Permainan egrang lebih sering dipakai untuk bersantai. Hanya pada saat-saat tertentu egrang digunakan untuk permainan perlombaan.

Kunci utama bermain egrang adalah menjaga keseimbangan badan. Tanpa bisa menjaga keseimbangan, si pemain akan sering jatuh.

Bentuk egrang bisa pendek, bisa pula tinggi. Soal ukuran, biasanya sangat tergantung kepada tinggi badan si pemain. Yang pasti, bila orang bermain egrang, maka posisi tubuhnya menjadi jauh lebih tinggi daripada tubuh yang sebenarnya. Persis seperti orang berdiri di tangga atau naik di atas meja.

Nusantara
Egrang ada di banyak daerah di Nusantara. Namun sampai kini masih belum diketahui secara pasti dari mana asalnya. Ada yang mengatakan egrang dibawa oleh pedagang Arab, ada pula yang berpendapat dipengaruhi bangsa Eropa.

Di Nusantara egrang dijumpai dengan nama berbeda-beda. Di sebagian wilayah Sumatera Barat disebut 'tengkak-tengkak' dari kata 'tengkak' (pincang); di Bengkulu dinamakan 'ingkau', berarti sepatu bambu; di Jawa Tengah dikenal sebagai 'jangkungan', berasal dari nama burung berkaki panjang; dan di Kalimantan Selatan diistilahkan 'batungkau' (dari bahasa Banjar).

Orang Sumatera Utara menyebut egrang dengan 'jangkungan'. Mungkin merupakan pengaruh orang-orang Jawa yang pergi ke sana. Di Jawa Barat egrang disebut Jajangkungan. Egrang sendiri diperkirakan berasal dari Bahasa Lampung yang berarti terompah pancung yang terbuat dari bambu bulat panjang. 

Di kalangan masyarakat Betawi, egrang dimainkan saat karnaval dengan berjalan bersama iring-iringan boneka ondel-ondel. Saat perayaan kemerdekaan RI, masyarakat Betawi pun kerap melombakan permainan egrang. Dulu egrang dimainkan sebagai arak-arakan saat musim panen tiba, terutama di kawasan Betawi pinggiran, seperti daerah Pondokrangon, Cipayung, Cileduk, Joglo, dan kawasan lain yang mata pencaharian penduduknya sebagai petani. Di Jawa tradisi memainkan egrang selalu dilakukan masyarakat Surakarta saat festival kebudayaan di daerah setempat.

Mungkin karena faktor geografi dan sulit mencari hiburan, maka permainan egrang cukup terkenal di Suku Kaili, Sulawesi Tengah. Di sana disebut tilako, terbuat dari bambu dan pelepah sagu atau tempurung kelapa. Tilako merupakan gabungan dari dua kata, yaitu 'ti' (awalan yang menunjukkan kata kerja) dan 'lako' (langkah atau jalan). Sementara oleh Suku Rai disebut kalempa, 'ka' (kata awalan yang menunjukkan kata kerja) dan 'lempa' (langkah). Pada suku-suku ini aturan permainan egrang dibagi menjadi dua, yaitu perlombaan lari dan pertandingan untuk saling menjatuhkan dengan cara saling memukulkan kaki-kaki bambu.

Egrang Bathok
Selain dari bambu, anak-anak masyarakat Jawa masa lalu juga mengenal egrang bathok. Egrang ini dibuat dari bahan dasar tempurung kelapa dipadukan dengan tali plastik. Dolanan egrang bathok dimainkan oleh anak laki-laki dan anak perempuan. Permainannya pun cukup mudah, kaki tinggal diletakkan di atas masing-masing tempurung, kemudian satu kaki diangkat, sementara kaki lainnya tetap bertumpu pada batok lain di tanah seperti layaknya berjalan.

Di mancanegara permainan egrang juga ada, misalnya di India dan Jerman. Di Eropa permainan egrang kadang kala dipadukan dengan hiburan, lewat pertunjukan badut-badut sirkus. Dengan egrang yang tersembunyi badan mereka tampak tinggi sekali. Mereka mampu bersalto dan berloncatan ke sana ke mari.***

Penulis: Djulianto Susantio (dari berbagai sumber)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun