Pada 2002 sebuah pengadilan di Austria memerintahkan penyitaan benda-benda seni yang pernah dirampas tentara Nazi dari kaum Yahudi. Salah satunya adalah koleksi seorang Yahudi Austria yang meninggal di kamp konsentrasi Cekoslowakia. Banyaknya tidak kurang dari 800 lukisan dan sejumlah artefak kuno. Barang-barang itu kemudian dikembalikan ke negara asalnya.
Masih di tahun yang sama sejumlah benda berharga peninggalan Pharao yang pernah dicuri pada 1992 dan kemudian berada di AS, dikembalikan ke Mesir setelah melalui proses pengadilan di New York. Benda yang dikembalikan itu antara lain sebuah plakat berukuran 70 cm x 120 cm, berasal dari sebuah kerajaan tua masa 2613 – 2181 SM.
Pada 1990-an seorang kolektor Jepang membeli barang-barang peninggalan Napoleon dari sebuah balai lelang. Karena tahu barang-barang tersebut merupakan hasil curian, maka dia menghibahkannya kepada pemerintah Perancis, tempat asal benda-benda tersebut.
Selanjutnya pada 2009 Cai Ming-chao, seorang konglomerat Cina, menang lelang atas dua patung perunggu kuno dari Balai Lelang Christie di Prancis. Harga kedua artefak itu $36 juta. Namun Cai tidak mau membayar karena dia tahu kedua benda itu adalah barang bersejarah milik Cina yang dicuri oleh tentara Inggris dan Prancis dalam Perang Candu 1860. Sebuah “pelajaran berharga” kepada para “penadah” telah dilakukan oleh Cai. Sebenarnya pemerintah Cina sudah berusaha keras mencegah barang curian tersebut dijual, namun pihak Christie mengabaikannya.
Di satu sisi, orang melihat pencurian, dalam hal ini termasuk perampasan oleh tentara militer asing, adalah perbuatan ilegal. Karena itu keputusan pengadilan setempat untuk menyita dan mengembalikan artefak ke negara asalnya, dianggap merupakan keputusan yang tepat.
Di lain sisi, orang (dalam hal ini balai lelang) memandang sebaliknya. Tidak peduli apakah barang itu legal atau ilegal, yang penting laku terjual dalam pelelangan. Kepentingan bisnis jelas berada di atas kepentingan lainnya.
Namun karena terbentur oleh kode etik, maka pemilik sebenarnya dari benda-benda ilegal itu sulit dilacak. Balai lelang benar-benar memegang kerahasiaan sang pemilik. Tidak heran karena aturan seperti itu, maka mata rantai transaksi benda-benda antik tetap berjalan hingga kini.
Diketahuinya benda-benda ilegal yang dijual balai lelang tentu saja adalah berkat kejelian kurator atau kolektor, berdasarkan katalogus yang dikeluarkan balai lelang bersangkutan. Dari sini bisa terjadi saling koreksi. Misalnya balai lelang akan menarik lot dari daftar bila materi lelang dianggap meragukan atau mendapat tentangan masyarakat. Namun, pemilik sah (misalnya museum atau negara, bila benda tersebut berasal dari suatu candi) tetap saja harus gigit jari karena barang tersebut tidak bakalan langsung kembali ke tangan.
Sekadar gambaran, kita pernah mengalami pukulan hebat ketika pada 1980-an barang-barang berharga yang diduga berasal dari perairan Nusantara, dicuri Hatcher dan sindikatnya. Dalam suatu lelang di Belanda, barang-barang curian itu laku terjual jutaan dollar. Kita pernah protes keras tetapi tidak digubris balai lelang itu.
Bahkan tahun 2005 kita digemparkan oleh rencana lelang arca Aksobhya di AS. Arca kuno tersebut diduga merupakan barang curian dari Candi Borobudur. Memang kemudian barang tersebut batal dilelang, entah bagaimana kabar arca itu sekarang.
Kerja sama
Sebenarnya pencurian artefak-artefak kuno sudah berlangsung sejak lama. Salah satu motif pencurian, penyelundupan, dan perbuatan negatif lainnya adalah mencari keuntungan finansial sebesar-besarnya.
Di Indonesia pencurian artefak-artefak kuno sudah demikian parah dan terjadi sejak 1960-an seiring meningkatnya kegiatan pariwisata. Tentu kita masih ingat kasus arca kudhu dari Candi Bhima. Hanya beberapa lama setelah kepalanya dipenggal, tahu-tahu artefak tersebut sudah diperdagangkan di Singapura.
Nasib kita sama seperti Kamboja. Ketika terjadi Perang Indochina dan perang saudara di sana, berbagai benda purbakala dicuri dari Candi Angkor. Oleh para pemberontak, benda-benda tersebut dijual ke Thailand dan ditukar dengan senjata. Ternyata setelah itu berpindah ke art-art gallery di mancanegara. Bahkan ditawarkan melalui internet dan balai-balai lelang.
Kini berbagai benda curian itu justru sudah menjadi koleksi museum-museum Eropa. Nah, hal demikian semakin menambah ruwet masalah kepemilikan. Pihak museum merasa sah karena membeli koleksi tersebut dari balai lelang ternama. Pemilik asal benda tersebut justru menganggap museum sebagai penadah barang curian.
Mengingat salah satu sarana efektif untuk melakukan bisnis haram itu adalah balai lelang, tentunya harus ada aturan untuk mengawasi transaksi tersebut. Karena hal ini menyangkut aktivitas internasional, maka pihak UNESCO harus memperhatikan hal demikian.
Aturan hukum perlu dibuat bersama oleh tiga institusi, yakni UNESCO, balai lelang, dan pengadilan internasional. Kalau aturan hukum sudah jelas, diyakini aktivitas pencurian artefak-artefak kuno semakin berkurang.
Tragisnya, korban terbesar kasus negatif ini ternyata adalah negara-negara jajahan dan negara-negara yang kalah perang. Kalau aturan hukum belum jelas, sampai kapan pun negara-negara seperti ini, termasuk Indonesia, harus gigit jari menerima kenyataan pahit.***
Penulis: Djulianto Susantio
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H