Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Benda Kuno Curian Dikembalikan ke Negara Asal oleh Pengadilan Internasional

16 Desember 2016   05:12 Diperbarui: 18 Desember 2016   05:27 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kerja sama

Sebenarnya pencurian artefak-artefak kuno sudah berlangsung sejak lama. Salah satu motif pencurian, penyelundupan, dan perbuatan negatif lainnya adalah mencari keuntungan finansial sebesar-besarnya.

Di Indonesia pencurian artefak-artefak kuno sudah demikian parah dan terjadi sejak 1960-an seiring meningkatnya kegiatan pariwisata. Tentu kita masih ingat kasus arca kudhu dari Candi Bhima. Hanya beberapa lama setelah kepalanya dipenggal, tahu-tahu artefak tersebut sudah diperdagangkan di Singapura.

Nasib kita sama seperti Kamboja. Ketika terjadi Perang Indochina dan perang saudara di sana, berbagai benda purbakala dicuri dari Candi Angkor. Oleh para pemberontak, benda-benda tersebut dijual ke Thailand dan ditukar dengan senjata. Ternyata setelah itu berpindah ke art-art gallery di mancanegara. Bahkan ditawarkan melalui internet dan balai-balai lelang.

Kini berbagai benda curian itu justru sudah menjadi koleksi museum-museum Eropa. Nah, hal demikian semakin menambah ruwet masalah kepemilikan. Pihak museum merasa sah karena membeli koleksi tersebut dari balai lelang ternama. Pemilik asal benda tersebut justru menganggap museum sebagai penadah barang curian. 

Mengingat salah satu sarana efektif untuk melakukan bisnis haram itu adalah balai lelang, tentunya harus ada aturan untuk mengawasi transaksi tersebut. Karena hal ini menyangkut aktivitas internasional, maka pihak UNESCO harus memperhatikan hal demikian.

Aturan hukum perlu dibuat bersama oleh tiga institusi, yakni UNESCO, balai lelang, dan pengadilan internasional. Kalau aturan hukum sudah jelas, diyakini aktivitas pencurian artefak-artefak kuno semakin berkurang.   

Tragisnya, korban terbesar kasus negatif ini ternyata adalah negara-negara jajahan dan negara-negara yang kalah perang. Kalau aturan hukum belum jelas, sampai kapan pun negara-negara seperti ini, termasuk Indonesia, harus gigit jari menerima kenyataan pahit.***

Penulis: Djulianto Susantio

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun