Kemudian Kompeni mengarahkan pembangunan ke Selatan kota. Yang mula-mula dibangun adalah Stadhuis (Balai Kota), sekarang difungsikan sebagai Museum Sejarah Jakarta (Museum Fatahillah). Selanjutnya, tempat di sekitar Stadhuis dijadikan pusat kota. Kota Batavia sendiri terletak mengarah ke selatan, sebatas stasiun kereta api Jakarta Kota sekarang. Selebihnya adalah luar kota. Umumnya rumah tinggal dan tempat peristirahatan terletak di luar kota.
Pada 1628 dan 1629 tentara Mataram Islam di bawah pimpinan Sultan Agung menyerang Batavia. Hal ini pun tidak meninggalkan bukti arkeologis. Hanya diduga situs pangkalan militer Mataram itu terletak di Marunda. Hal ini didasarkan pada sejumlah informasi dari babad dan arsip Belanda yang mengatakan adanya serangan Mataram lewat laut dipimpin Tumenggung Bahureksa.
Armada itu membuat depot logistik di Marunda. Disayangkan, selain terkena abrasi, wilayah Marunda sudah porak-poranda oleh pembangunan fisik, antara lain pembangunan pelabuhan kayu. Satu-satunya jalan untuk mencari situs ini juga harus melalui penelitian arkeologi bawah air.
Sedikit
Mengapa peninggalan arkeologi yang ditemukan di wilayah Jakarta masih sangat sedikit dibandingkan peninggalan sejarahnya, tentu disebabkan perkembangan kota yang sangat pesat. Bisa dibayangkan, dalam kurun waktu sekian tahun saja banyak pendatang dari luar Jakarta bermukim di sini. Menurut sensus tahun 1819, jumlah penduduk Jakarta tidak sampai 50.000 orang. Pada 1930-an menjadi sekitar satu juta orang. Berkembang lagi pada 2000-an menjadi sekitar 10 juta jiwa. Sudah jelas persentasenya tertinggi dibandingkan kota-kota lain.
Banyak pendatang kemudian bermukim di lahan-lahan kosong sebagaimana tergambar dari daerah-daerah yang sekarang populer sebagai Rawajati, Rawabambu, Rawaterate, Kebon Kosong, Kebon Pala, Kebon Manggis, Kampung Bali, Kampung Ambon, Kampung Makasar, Utan Kayu, Utan Panjang, dsb. Adanya wilayah-wilayah yang disebut rawa, kebon, kampung,danutan jelas menunjukkan Jakarta semakin dipadati pendatang.
Pertumbuhan kota yang semakin pesat menyebabkan banyak situs kemudian tertutup permukiman penduduk dan berbagai pembangunan fisik. Ironisnya, di antara kelangkaan sumber-sumber arkeologinya, banyak peninggalan masa lampaunya justru sengaja dihancurkan dengan dalih demi pembangunan. Di pihak lain, upaya penelitian tidak memperoleh perhatian yang sungguh-sungguh sehingga kalah cepat oleh berbagai pembangunan fisik itu.
Memang, akibat cepatnya pembangunan itu Jakarta menjelma menjadi kota penuh impian. Akibat yang harus dibayar mahal adalah Jakarta tidak mempunyai bukti-bukti masa lampau yang pantas dibanggakan untuk anak cucu kita nantinya. Meskipun revitalisasi kota tua sedang giat-giatnya dilaksanakan, namun itu belum cukup untuk mengungkapkan kebesaran masa lampau Jakarta.***
Penulis: Djulianto Susantio
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H