Sangiran berlokasi di Kabupaten Sragen, Jawa Tengah, dikenal sebagai surga fosil. Berbagai jenis fosil hewan purba dan manusia purba banyak ditemukan di sana. Sejak zaman penjajahan Belanda, Sangiran sering didatangi pakar arkeologi, sejarah, antropologi, dan paleontologi dunia.
Temuan fosil manusia purba Homo erectus di Sangiran sangat dikenal oleh ilmuwan-ilmuwan dunia. Benda itu berasal dari Kala Plestosen Bawah dan Kala Plestosen Tengah. Berdasarkan kronologinya, Homo erectus mempunyai rentang waktu 1,5 juta tahun hingga 0,3 juta tahun yang lalu. Hingga saat ini telah ditemukan lebih dari 100 individu Homo erectus. Dengan demikian semakin mengukuhkan Sangiran sebagai kontributor manusia purba jenis ini paling besar di dunia. Lebih dari 50 persen Homo erectus yang pernah ditemukan di dunia, memang diwakili oleh Homo erectus Sangiran.
Di Indonesia terdapat beberapa situs manusia purba, namun Sangiran-lah yang paling populer. Bahkan Sangiran merupakan sebuah kawasan prasejarah terkemuka di dunia. Sampai sekarang di situs ini banyak ditemukan fosil manusia, fosil hewan, dan berjenis-jenis artefak yang berusia ratusan ribu tahun. Diperkirakan yang terpendam di dalam tanah masih seabrek-abrek jumlahnya. Fosil-fosil Homo erectus ditemukan secara sporadis dan berkesinambungan di areal situs seluas 56 kilometer persegi itu sejak 1936 hingga kini.
Sejak lama para pakar internasional, memandang Sangiran sebagai laboratorium alam paling lengkap. Mereka beralasan situs ini mampu menunjukkan berbagai lapisan tanah dan memperlihatkan interaksi kehidupan manusia dengan lingkungannya. Karena perannya itu, maka kemudian UNESCO menganggap Situs Sangiran sebagai salah satu dari ‘situs kunci’ yang dapat memberikan gambaran dan pemahaman tentang proses evolusi manusia, budaya, dan lingkungannya selama dua juta tahun tanpa terputus. Pada 1996 situs ini ditetapkan sebagai warisan budaya dunia dengan nama ‘Sangiran Early Man Site’.
Buaya
Bukan hanya penghuni darat, Sangiran pun pernah dikuasai penghuni rawa. Diperkirakan buaya merupakan penghuni rawa yang mendominasi daerah Sangiran pada periode 1,7 juta hingga 0,9 juta tahun yang lalu. Ketika itu Sangiran merupakan hamparan rawa yang sangat luas di cekungan Solo. Bukti adanya buaya adalah ditemukannya sebuah tengkorak di Desa Dayu dekat kubah Sangiran. Tengkorak buaya tersebut memiliki rahang atas dan rahang bawah yang masih relatif lengkap. Beberapa giginya terlihat besar dan kuat.
Manusia Jawa
Sangiran mulai dikenal pada 1934. Berbagai penelitian lapangan, baik yang dilakukan para peneliti asing maupun peneliti Indonesia, secara berkesinambungan berlangsung di sini. Survei dan ekskavasi (penggalian) merupakan bentuk penelitian yang paling umum dilakukan di Sangiran. G.H.R. von Koenigswald dulu memulai penelitian di situs ini. Dia menemukan sejumlah alat batu berupa serpih bilah yang ditaksir berumur 400 ribu tahun.
Pada 1990-an Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bersama Museum Sejarah Alam Prancis melakukan ekskavasi di sana. Hasilnya adalah berbagai temuan spektakuler seperti sisa manusia, sisa fauna, dan artefak batu yang mempunyai kesamaan dengan temuan Koenigswald. Dari jejak-jejak itulah diketahui Homo erectus Sangiran telah menghuni dan melakukan aktivitas perburuan di tepi sungai purba yang sekitar 700 ribu tahun lalu pernah mengalir di kawasan tersebut. Koenigswald sendiri sempat membawa hasil-hasil temuannya ke negara asalnya, Jerman. Untunglah kemudian ada wasiat untuk mengembalikan artefak-artefak itu ke Indonesia setelah dia meninggal.
Teknologi
Kemampuan Homo erectus untuk membuat alat sudah jauh lebih maju daripada manusia purba di belahan dunia lain. Mereka tidak hanya melakukan pemangkasan, tetapi juga telah mengembangkan bentuk dan teknologi tertentu, misalnya kapak genggam. Di antara berbagai peralatan, keberadaan bola batu di Sangiran dinilai penting, meskipun keberadaan bola batu itu masih menjadi bahan perdebatan. Hal ini karena sebagian pakar beranggapan artefak itu bukan buatan manusia melainkan terbentuk secara alamiah sebagai akibat dari proses pelapukan.
Sebagian pakar lain berpandangan bola batu merupakan hasil pengerjaan manusia karena menampakkan bekas-bekas pengerjaan atau pemakaian, misalnya ada bekas-bekas pangkasan dalam upaya pembentukan menjadi bulat dan ada luka-luka kecil pada bagian tertentu akibat benturan (mungkin pemukulan). ”Ciri umum bola batu yang ditemukan di Sangiran berbentuk bulat dengan berat 500-1.100 gram. Bola batu tersebut kemungkinan berfungsi sebagai alat berburu dengan sistem lempar menggunakan bantuan tali,” demikian Harry Widianto dalam bukunya.
Manusia Homo erectus juga sudah mampu menghasilkan kapak genggam. Alat ini lebih modern dari kapak perimbas yang dihasilkan manusia purba di Afrika. Mereka mulai menerapkan teknik pemangkasan dan penyerpihan, sehingga mampu menghasilkan berbagai bentuk kapak, seperti segitiga atau oval. Secara morfologis kapak genggam mempunyai berbagai variasi tipologi. Namun karakter umum kapak genggam adalah berbentuk bulat lonjong dengan bagian ujung meruncing. Diduga kapak genggam berfungsi sebagai alat penusuk atau penetak. Alat ini merupakan masterpiece karya Homo erectus. Sebagai pemburu ulung, Homo erectus juga menciptakan kapak pembelah. Tajamannya yang lebar memang cocok untuk alat pembelah seperti kapak zaman sekarang.
Museum
Sejak menjadi warisan dunia, pelestarian dan pengembangan Situs Sangiran mengalami kemajuan. Upaya awal sempat terhambat karena terjadinya krisis moneter berkepanjangan di Indonesia pada 1998. Pada 2002 semangat membangun Situs Sangiran menggeliat kembali. Pembuatan rencana induk Situs Sangiran selesai pada 2004. Tiga tahun kemudian selesai pembuatan Detail Engineering Design Pelestarian Situs Sangiran.
Meskipun ‘berkelas dunia’ namun sebenarnya situasi lapangan di Sangiran “tidak mencerminkan apa-apa”. Ini karena lahannya hanya berupa sebuah bentangan padang gersang. Maka ketika itu timbul pemikiran agar pesan-pesan dari masa lalu dapat dinikmati oleh masyarakat, haruslah didirikan sentra-sentra informasi secara representatif di kawasan situs. Empat kluster telah dipilih untuk pengembangan kawasan, yaitu Krikilan sebagai pusat pengunjung dengan Ngebung, Bukuran, dan Dayu sebagai satelit-satelitnya. Museum Sangiran di kluster Krikilan telah diresmikan pada 15 Desember 2011. Museum-museum lainnya diresmikan pada 2014.
Pertengahan Februari 2012 ketika mengunjungi Sangiran, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyatakan terkesan pada Museum Sangiran. Menurutnya, penataan museum cukup bagus dan bisa menjadi obyek wisata yang menarik bagi turis. Beliau juga mengharapkan Sangiran bisa menjadi pusat kajian manusia purba internasional.***
Daftar Pustaka
Simanjuntak, Truman dan Budiman (ed.). Kehidupan Purba Sangiran. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional, 2011.
Soejono, R.P (ed.). “Jaman Prasejarah di Indonesia,” Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: PN Balai Pustaka, 1984.
Widianto, Harry dan Truman Simanjuntak. Sangiran Menjawab Dunia. Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, 2009.
Widianto, Harry. Jejak Langkah Setelah Sangiran. Balai Pelestarian Situs Manusia Purba Sangiran, 2010.
**********
Penulis: Djulianto Susantio
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H