Sejak lama, banyak berita tentang arkeologi yang menyedihkan menghiasi media-media cetak dan daring kita. Tulisan-tulisan itu antara lain arca Buddha asal Candi Borobudur dilelang di luar negeri, arca kuno dicuri dari bangunan candi, peninggalan purbakala dipenuhi corat-coret, harta karun laut dijarah sindikat internasional, koleksi museum dipalsukan, temuan batu purba terbengkalai di tengah sawah, situs kuno dibuldoser, bangunan bersejarah digusur, dan masih banyak lagi.
Memang, ada juga berita menggembirakan. Misalnya Candi Prambanan pasca gempa selesai dipugar, seorang petani menemukan struktur bangunan kuno, pemerintah akan membangun sejumlah museum, UNESCO kagumi warisan budaya Indonesia, dsb. Namun tidak dipungkiri, kisah menyedihkan justru lebih banyak mendominasi pemberitaan dibandingkan kisah menggembirakan. Tidak disangsikan, berbagai perbuatan negatif itu terjadi karena ilmu arkeologi belum dikenal luas oleh masyarakat.
Sebenarnya, sejak lama upaya memperkenalkan arkeologi kepada masyarakat giat dilakukan oleh berbagai pihak. Namun, tetap saja usaha untuk mengurangi perbuatan negatif menjadi persoalan pelik hingga sekarang. Di satu pihak, tidak seluruh masyarakat mengenal dan/atau mencintai arkeologi. Di lain pihak, masyarakat lebih tergiur benda-benda kuno yang dipandang memiliki nilai komersial tinggi dibandingkan ilmunya.
Meskipun arkeologi memiliki “mitra kerja” yang utama, yakni museum, tapi nasib museum pun tak ubahnya arkeologi. Museum sebagai etalase dunia arkeologi jarang sekali didatangi pengunjung. Mungkin karena terjadi salah kaprah terhadap pengertian museum. Banyak orang awam menganggap museum hanyalah gudang penyimpanan barang-barang kuno belaka, bukan tempat tempat untuk menggali ilmu pengetahuan.
Berbeda dengan Indonesia, di sejumlah negara maju memperkenalkan arkeologi dan museum sekaligus merupakan persoalan sederhana karena sasarannya adalah para guru dan pelajar. Di sana arkeologi dan museum tidak dapat dipisahkan dari dunia pendidikan. Karena itu banyak masyarakat sudah memiliki pengertian dan kesadaran akan benda-benda arkeologi. Jadinya, upaya untuk meredam segala perbuatan negatif lebih mudah ditangani (Museum dan Anak-anak, 1991).
Tidak dipungkiri kalau sejak lama di Indonesia setiap sekolah sudah mempunyai program tetap berupa karya wisata (study tour), antara lain mengunjungi berbagai museum menjelang berakhirnya tahun ajaran. Sayang sekali, kunjungan tersebut tidak terkoordinasi dengan baik. Justru di kala kunjungan itu, para siswa sering berlarian ke sana ke mari. Bukannya mencatat atau mendengarkan pemandu museum.
Seharusnya kunjungan itu dibimbing oleh pemandu yang terlatih. Dengan demikian, para murid akan berkonsentrasi kepada koleksi museum. Penjelasan yang menarik tentu saja akan membangkitkan minat anak untuk mencintai museum sekaligus arkeologi.
Ekskavasi
Arkeologi atau ilmu purbakala sering didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari segala hal tentang masa lampau manusia melalui benda-benda budaya yang ditinggalkannya. Benda-benda arkeologi sendiri banyak macamnya. Namun pada dasarnya terbagi atas dua jenis. Pertama, benda-benda yang tidak dapat dipindahkan atau berukuran besar (benda tak bergerak). Contohnya candi, masjid, benteng, kraton, dan pura. Karena besarnya, artefak-artefak itu dilindungi dalam sebuah museum terbuka (open air museum) atau museum lapangan (site museum).
Kedua, benda-benda yang dapat dipindahkan atau berukuran kecil (benda bergerak). Contohnya arca, keramik, fosil, mata uang, alat rumah tangga, perhiasan, senjata, naskah kuno, dan alat upacara. Karena dapat dipindahkan atau berukuran kecil, artefak-artefak kuno tersebut disimpan di dalam museum (tertutup).
Artefak-artefak yang disimpan sekaligus dilestarikan di dalam museum terbuka dan museum tertutup dimaksudkan untuk memberikan informasi ilmu pengetahuan kepada masyarakat masa kini dan masa mendatang.
Namun, umumnya benda-benda arkeologi masih berada di dalam tanah. Karena itu, arkeologi mengembangkan metode penelitian khusus yang disebut ekskavasi (penggalian). Tujuan utama ekskavasi adalah untuk mencari “harta karun” ilmu pengetahuan yang masih tersembunyi atau terpendam.