Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Songsong Liburan, Waspadai Daya Rusak Manusia di Candi Borobudur

6 Desember 2016   06:48 Diperbarui: 6 Desember 2016   15:46 378
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dulu upaya penyelamatan, Candi Borobudur selalu dikaitkan dengan program pemerintah di bidang kepariwisataan. Pemugaran yang memakan biaya jutaan dollar itu dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah wisatawan. Rupanya kurang prediksi bahwa kepariwisataan malah menimbulkan kerusakan batu yang lebih besar pada Candi Borobudur sehingga menimbulkan kekhawatiran.

Mencoba peruntungan dengan merogoh arca Kunta Bhima (Dokpri)
Mencoba peruntungan dengan merogoh arca Kunta Bhima (Dokpri)
Pada masa Hindia-Belanda pernah terlontar upaya konservasi Candi Borobudur dengan membatasi jumlah pengunjung, sebagaimana diutarakan Soekmono dalam buku Candi Borobudur, Pusaka Budaya Umat Manusia (1986). Gagasan tersebut dikemukakan oleh panitia pemugaran pimpinan Th. Van Erp. Maksud utama pembatasan adalah untuk memperkecil jumlah kerusakan mekanis yang disebabkan oleh manusia.

Menurut panitia itu, sebaiknya para pengunjung dikelompokkan menjadi rombongan tidak lebih dari 20 orang. Setiap kelompok itu harus disertai dan diawasi oleh seorang petugas pemandu. Pemikiran mereka sederhana saja, yakni karena terkoordinasi, maka keamanan candi lebih terjamin.

Namun kesulitan di lapangan adalah kedatangan pengunjung sukar dicegah atau dibendung. Ini karena sasaran utama pengunjung justru menaiki candi. Bahkan mencari-cari arca Kunta Bhima atau melakukan aktivitas potret-memotret di atas. Karena itu upaya memberlakukan peraturan kunjungan tidak membuahkan hasil maksimal.

Untuk waktu ke depan, seyogyanya perlu dipikirkan bagaimana cara untuk memecahsebarkan pengunjung candi. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak melulu menaiki candi. Diharapkan pengunjung akan memiliki sejumlah alternatif yang sama berkesannya seandainya mereka tidak menaiki candi secara langsung.

Secara teoretis, semakin banyak pengunjung yang menaiki candi, maka lantai candi akan semakin rusak atau aus karena gesekan alas kaki pengunjung. Karena itu pemakaian alas kaki karet atau bahan yang lembut, perlu diadakan untuk pengunjung. Penulis dengar sayembara pembuatan alas kaki sudah diumumkan. Semoga bisa segera diterapkan dalam rangka kelestarian Candi Borobudur. Masalah lain adalah kedisiplinan pengunjung. Mereka masih suka membuang sampah sembarangan. Ini juga perlu ditindaklanjuti oleh pengelola.

Candi Borobudur pernah diyakini akan mampu menampung dua asas sekaligus, yakni konservasi dan pariwisata. Namun tampaknya segi pariwisata lebih diuntungkan karena lapangan kerja semakin tersedia. Masyarakat sekitar bisa menghasilkan sekaligus menjajakan cendera mata, makanan, minuman, dan sebagainya. Devisa negara pun semakin bertambah. Namun banyaknya PKL dan pedagang asongan juga ‘mencederai’ nama besar Candi Borobudur. Akibatnya pernah ada ancaman dari UNESCO untuk mencabut gelar Warisan Dunia untuk Candi Borobudur.

Mengingat pentingnya konservasi, perlu diupayakan bagaimana pihak pariwisata berperan meminimalisasi tingkat kerusakan Candi Borobudur. Misalnya dengan menyelenggarakan kegiatan pariwisata yang terencana dan terkontrol dengan baik.

Konservasi dan pariwisata jelas hampir selalu bertolak belakang. Konservasi adalah kegiatan yang berkesan ‘membuang-buang duit’. Sebaliknya, pariwisata adalah kegiatan yang ‘mendatangkan duit’, sehingga dianggap sebagai primadona. Jadi, konservasi Candi Borobudur bukan proyek buang-buang duit. Bagaimana agar konservasi dan pariwisata berjalan sejajar, itulah masalah yang harus segera direalisasikan.***

Penulis: Djulianto Susantio

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun