Dulu upaya penyelamatan, Candi Borobudur selalu dikaitkan dengan program pemerintah di bidang kepariwisataan. Pemugaran yang memakan biaya jutaan dollar itu dimaksudkan untuk meningkatkan jumlah wisatawan. Rupanya kurang prediksi bahwa kepariwisataan malah menimbulkan kerusakan batu yang lebih besar pada Candi Borobudur sehingga menimbulkan kekhawatiran.
Menurut panitia itu, sebaiknya para pengunjung dikelompokkan menjadi rombongan tidak lebih dari 20 orang. Setiap kelompok itu harus disertai dan diawasi oleh seorang petugas pemandu. Pemikiran mereka sederhana saja, yakni karena terkoordinasi, maka keamanan candi lebih terjamin.
Namun kesulitan di lapangan adalah kedatangan pengunjung sukar dicegah atau dibendung. Ini karena sasaran utama pengunjung justru menaiki candi. Bahkan mencari-cari arca Kunta Bhima atau melakukan aktivitas potret-memotret di atas. Karena itu upaya memberlakukan peraturan kunjungan tidak membuahkan hasil maksimal.
Untuk waktu ke depan, seyogyanya perlu dipikirkan bagaimana cara untuk memecahsebarkan pengunjung candi. Hal ini dimaksudkan agar mereka tidak melulu menaiki candi. Diharapkan pengunjung akan memiliki sejumlah alternatif yang sama berkesannya seandainya mereka tidak menaiki candi secara langsung.
Secara teoretis, semakin banyak pengunjung yang menaiki candi, maka lantai candi akan semakin rusak atau aus karena gesekan alas kaki pengunjung. Karena itu pemakaian alas kaki karet atau bahan yang lembut, perlu diadakan untuk pengunjung. Penulis dengar sayembara pembuatan alas kaki sudah diumumkan. Semoga bisa segera diterapkan dalam rangka kelestarian Candi Borobudur. Masalah lain adalah kedisiplinan pengunjung. Mereka masih suka membuang sampah sembarangan. Ini juga perlu ditindaklanjuti oleh pengelola.
Candi Borobudur pernah diyakini akan mampu menampung dua asas sekaligus, yakni konservasi dan pariwisata. Namun tampaknya segi pariwisata lebih diuntungkan karena lapangan kerja semakin tersedia. Masyarakat sekitar bisa menghasilkan sekaligus menjajakan cendera mata, makanan, minuman, dan sebagainya. Devisa negara pun semakin bertambah. Namun banyaknya PKL dan pedagang asongan juga ‘mencederai’ nama besar Candi Borobudur. Akibatnya pernah ada ancaman dari UNESCO untuk mencabut gelar Warisan Dunia untuk Candi Borobudur.
Mengingat pentingnya konservasi, perlu diupayakan bagaimana pihak pariwisata berperan meminimalisasi tingkat kerusakan Candi Borobudur. Misalnya dengan menyelenggarakan kegiatan pariwisata yang terencana dan terkontrol dengan baik.
Konservasi dan pariwisata jelas hampir selalu bertolak belakang. Konservasi adalah kegiatan yang berkesan ‘membuang-buang duit’. Sebaliknya, pariwisata adalah kegiatan yang ‘mendatangkan duit’, sehingga dianggap sebagai primadona. Jadi, konservasi Candi Borobudur bukan proyek buang-buang duit. Bagaimana agar konservasi dan pariwisata berjalan sejajar, itulah masalah yang harus segera direalisasikan.***
Penulis: Djulianto Susantio