Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menurut Kitab Kuno, Seorang Pemimpin Harus Memiliki Watak Adil Merata Tanpa Pilih Kasih

3 Desember 2016   17:41 Diperbarui: 4 Desember 2016   04:59 119
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Buku Mahabharata terbitan Gramedia (Dok. Gramedia)

BG yang diperkirakan ditulis pada tahun 400-450 SM oleh Bhagawan Vyasa, pada garis besarnya terbagi menjadi tiga bagian. Bagian pertama, melukiskan disiplin kerja tanpa mengharapkan buah hasilnya dan sifat jiwa yang ada di dalam badan kita. Bagian kedua, mengutarakan disiplin ilmu pengetahuan dan kebaktian kepada Brahman (Tuhan). Bagian ketiga, menguraikan kesimpulan kedua bagian terdahulu disertai disiplin pengabdian seluruh jiwa raga dan kegiatan kerja untuk dipersembahkan kepada Brahman yang kekal.

Banyak pihak juga menganggap BG adalah dharmmasastra (buku petunjuk untuk berbuat yang benar) dan smriti (ilmu pengetahuan yang harus selalu diingat untuk dipergunakan sebagai petunjuk berbuat yang benar).

Para sarjana Barat menilai BG kekal abadi dan bersifat universal. Artinya, tidak untuk zaman dulu saja atau golongan tertentu saja, tetapi merupakan kepunyaan umat manusia yang mencari kesempurnaan hidup dan kedamaian. Tokoh India terkenal, Mahatma Gandhi, pernah berkomentar bahwa BG adalah puisi religius yang agung. Katanya, semakin dalam kita menyelaminya, maka semakin kaya makna yang kita dapatkan (Bhagavad-Gita, hal. 22).

BG sangat jelas menggambarkan bahwa perang fisik itu tidak perlu karena menghasilkan kesia-siaan. Dikatakan, perang telah membuat para pemenang berurai air mata, kesedihan, dan penyesalan. Tidak ada apa pun yang tersisa dari perang, kecuali warisan kesengsaraan.

Ramayana

Salah satu ajaran dari kitab-kitab kuno yang juga sering dijadikan panutan adalah ajaran astabratha (asta = delapan, bratha = perilaku). Astabratha pertama kali dikenal dalam kitab kuno Ramayana. Kitab ini ditulis dalam bahasa Sansekerta, namun   kemudian dibuat dalam versi Jawa Kuno. Konsep astabratha Jawa menilai seorang pemimpin antara lain harus memiliki sifat ambek adil paramarta atau watak adil merata tanpa pilih kasih.

Dalam konsep Hindu, astabratha dikaitkan dengan sifat para dewa sekaligus gejala alam. Dikatakan, di dalam diri seorang raja harus berpadu sifat delapan dewa, yakni Indra, Yama, Surya, Soma, Wayu, Kuwera, Waruna, dan Agni. Raja demikianlah yang diyakini mampu berlaku adil, bijaksana, berwibawa, dan welas asih terhadap rakyatnya.

Sebagai Indra (Dewa Hujan), diharapkan raja akan menghujankan anugerah kepada rakyatnya. Lewat hujan, yang diidentikkan dengan air, raja juga diharapkan menumpahkan rezeki sehingga rezeki tersebut selalu mengalir dinamis ibarat air. Air adalah sumber segala kehidupan karena merupakan perangkat penting dalam upacara keagamaan. Maka raja harus pula mampu memberi penghidupan yang layak kepada rakyatnya.

 Sebagai Yama (Dewa Maut), disyaratkan raja harus menghukum para pencuri dan penjahat. Dulu di beberapa kerajaan kuno undang-undang hukum begitu ditegakkan. Terlebih karena para penegak hukum adalah seorang pendeta sehingga pengetahuannya akan kitab sastra dan hukum adat menjadi sempurna. Akibatnya kerajaan menjadi tenteram.

Sebagai Surya (Dewa Matahari), diharapkan raja menarik pajak dari rakyatnya sedikit demi sedikit, seperti halnya matahari menguapkan air di bumi sedikit demi sedikit, sehingga tidak memberatkan. Pajak memang merupakan penghasilan terbesar kerajaan. Petugas pajak yang disebut mangilala drawya haji adalah salah satu tokoh yang berperan penting untuk memajukan kerajaan. Dulu kerajaan bisa maju karena banyak petugas pajak bermental jujur dan bersih.

Sebagai Soma (Dewa Bulan), raja harus membuat bahagia seluruh rakyatnya dengan senyumannya yang bagaikan amerta (air suci). Disyaratkan, tindak tanduk raja tidak “memabukkan” rakyatnya dan mampu mengubah sesuatu yang jelek menjadi baik sebagaimana air amerta itu. Dalam mitologi Hindu sebenarnya soma adalah sejenis minuman yang dapat memabukkan pemakainya (berkonotasi negatif). Namun berkat  Indra, maka soma mampu “melapangkan pikiran” (berkonotasi positif).

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun