Banyak orang pasti mengenal organisasi pergerakan nasional yang disebut Boedi Oetomo atau Budi Utomo (BO). Banyak orang kemungkinan besar bisa menyebutkan siapa tokoh BO. Memang ada beberapa nama lain di luar dokter Soetomo dan dokter Wahidin Soedirohoesodo. Dari sembilan tokoh pendiri BO, ternyata nama dokter Angka kurang dikenal. Referensi yang membahas tokoh ini pun masih amat sedikit.
Sosok dokter Angka dibahas dalam diskusi di Museum Kebangkitan Nasional, Rabu, 30 November 2016. Tampil sebagai pembicara Prof. Dr. Djoko Marihandono dan Dr. Yuda B. Tangkilisan dengan moderator Darmansyah. Dulu, museum yang berlokasi di Jalan Abdul Rahman Saleh No. 26 ini, merupakan Gedung STOVIA. Sebuah gedung yang dibangun pemerintah kolonial Belanda sebagai Sekolah Kedokteran Jawa atau Sekolah Kedokteran Bumiputera. Di tempat inilah lahir organisasi pergerakan BO.
Pengajar Ikhtisar Sejarah Indonesia di FIB UI, Yuda B. Tangkilisan, menyebutkan sumber dan keterangan tentang dokter Angka masih sangat minim. Kelangkaan sumber, katanya, menyebabkan keberadaan dan kisah tentang berbagai tokoh, yang tidak memiliki sumber atau peninggalan, tidak dapat dikisahkan kembali. Padahal, bukannya tidak mungkin, peranan dan sumbangsihnya dalam perjuangan bangsa dan negara sangat penting, jelas, dan nyata.
Yuda menyebutkan juga, pada sejumlah karya tentang BO, nama dokter Angka jarang disebut-sebut sehingga menimbulkan kesan bahwa keberadaan, peranan, dan sumbangsihnya tidak ada. Bahkan Indonesianis Akira Nagazumi, tidak mencantumkan sosok itu dalam penjelasannya tentang para pemula dan perintis gerakan kebangkitan nasional.
Dari berbagai foto lama pun nama dokter Angka tidak disebut. Namun menurut Yuda, identifikasi tokoh dokter Angka berhasil dilakukan dengan melihat perbandingan bentuk wajah. Memang dokter Angka terlibat aktif di dalam berbagai kegiatan BO.
Djoko Marihandono melakukan penelitian dari sisi pandang lain. Ia mencari sumber koran lokal berbahasa Belanda. Dari situ ia menemukan tiga nama dokter Angka, yakni Angka Nitisastro, Angka Prodjosoedirdjo, dan Raden Angka. Dari penelusuran lebih jauh, ternyata Angka Nitisastro adalah dokter lulusan NIAS, bukan STOVIA.
Jadi ada dua kemungkinan, Angka Prodjosoedirdjo dan Raden Angka. Keduanya adalah orang yang sama, mengingat dalam tradisi Jawa orang yang sudah menikah diberi nama oleh orang tuanya. Dalam hal ini Raden Angka mendapat tambahan nama Prodjosoedirdjo.
Adanya nama Raden Angka juga terungkap dalam “Daftar nama lulusan STOVIA mulai 1877”. Pada daftar nomor 239, tertera Raden Angka lahir di Banjarnegara pada 1890. Ia masuk STOVIA 4 Januari 1904 dan lulus 30 Juli 1912.
“Saya merasa kecil dan tidak ikut berjasa”
Angka lahir pada Selasa Kliwon 13 Desember 1887 di Banjarnegara, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Prodjodiwirjo, asisten wedana (camat) di Madukara, Banjarnegara, waktu itu. Nama Angka merupakan kependekan dari Anggoro Kasih, identik dengan Selasa Kliwon. Yang unik, ketika masuk STOVIA, ia menggunakan data lahir 4 Mei 1890 yang ternyata jatuh pada Minggu Kliwon.
Pada masa anak-anak Angka dititipkan pada orang tua ibunya, yaitu eyang R. Santadiredja, patih di Banyumas. Ia bersekolah di Holland Indische School (HIS) selama tujuh tahun, kemudian melanjutkan di Hoogere Burger School (HBS) selama lima tahun.
Angka lulus STOVIA pada 30 Juli 1912 dengan predikat cumlaude. Atas prestasinya itu, ia menerima cenderamata dari STOVIA berupa jam saku berantai dengan gantungan terbuat dari emas dan kuku macan.
Angka pernah ditugaskan sebagai dokter pemerintah di Semarang, Sawahlunto, Bogor, Purbalingga, Brebes, Pemalang, Kendal, Banyumas, dan Purwokerto. Pada 1935 ia menangani pemberantasan penyakit frambosia di Pemalang. Pada 1954 menangani penyakit malaria di Cilacap bersama UNICEF.
Setelah pensiun, dokter Angka dan beberapa dokter di Purwokerto mendirikan Apotek Dwiwarna (Oktober 1949). Lokasinya di Jalan Jend. Gatot Soebroto 36, Purwokerto. Namun pada 1970 karena satu per satu pemegang sahamnya pindah dari Purwokerto, apotek itu dijual.
Dokter Angka pernah diminta untuk menandatangani “surat pernyataan pengakuan” sebagai perintis kemerdekaan agar mendapatkan tunjangan pemerintah. Namun ia menolak karena beranggapan jasa-jasanya merupakan kewajiban dan tanggung jawab kepada pemerintah beserta rakyat Indonesia, tanpa mengharapkan imbalan apa pun. Saya merasa kecil dan tidak ikut berjasa...,” tutur dokter Angka.
Angka menikah dengan R.A. Soedjiah dan dikaruniai tujuh anak, yaitu Soeprapti, Soekartini, Achmad Soeprapto, Maryani, Soeparti, Soejati, dan Soeharti. Cucunya berjumlah 14 orang. Semasa hidupnya, dokter Angka mengabdikan dirinya sebagai dokter dan pendidik. Dalam usia 85 tahun dokter Angka masih tetap melakukan tugas kemanusiaan.
Dokter Angka meninggal di Purwokerto pada 1975 dalam usia 88 tahun. Ia dimakamkan di Pesarean Keluarga Kebutuh Sokaraja. Nama dokter Angka kemudian diabadikan sebagai nama jalan yang melintasi rumah sakit lama di Purwokerto.
Dokter Angka jelas banyak berkecimpung di bidang sosial. Di lain pihak, teman-temannya bergerak di bidang politik yang ‘berisik’. Maka nama dokter Angka hanya terlihat sepintas. Namun bukan tidak mungkin banyak yang bisa tergali dari tokoh ini.***
Penulis: Djulianto Susantio
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H