Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Inilah Alasan Tercecernya Warisan Arkeologi Indonesia ke Beberapa Negara!

26 November 2016   11:36 Diperbarui: 27 November 2016   03:41 174
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rabu, 23 November 2016 lalu Presiden Joko Widodo atau Jokowi menggelar pertemuan bilateral dengan Perdana Menteri Belanda Mark Rutte. Momen pertemuan itu rupanya dimanfaatkan pemerintah Belanda untuk mengembalikan artefak Nusantara di Belanda kepada Indonesia.

Rutte menjelaskan, ada 1.500 artefak di Museum Nusantara di Kota Delft, yang akan dikembalikan. Sebagai simbol pengembalian, Rutte menyerahkan keris kepada Jokowi.    

Museum Nusantara di Delft ditutup pada 2013. Alasan utamanya karena kesulitan biaya perawatan museum. Sejak saat itu, satu per satu koleksi artefak Indonesia di Museum Nusantara dikembalikan ke pemerintah Indonesia.

Sebenarnya di Belanda ada beberapa museum terpaksa ditutup. Artefak asal Indonesia pun banyak terbengkalai di sana. Namun sayangnya upaya pengembalian sekitar 15.000 artefak cuma omong kosong mereka saja. Bahkan liciknya mereka, cuma artefak yang akan dikembalikan. Sebaliknya, data tentang artefak-artefak itu tidak akan diberikan. Sudah beberapa kali dilakukan negosiasi agar artefak dan data bersama-sama dikembalikan ke Indonesia. Namun hasil negosiasi tetap menemui jalan buntu.

Bagaimana artefak-artefak Nusantara bisa terdampar di Belanda. Mungkin kisah berikut mampu menambah pengetahuan Anda.

Kebijakan ‘mengumpulkan dan membagi’

Salah satu sisi kelam dari masa pendudukan Belanda di Indonesia adalah raibnya warisan-warisan arkeologi dari berbagai wilayah untuk dibawa ke negara mereka.  Koleksi-koleksi tersebut bisa berada di sana karena kebijakan pemerintah kolonial Hindia Belanda bersifat divide et impera (memecah belah dan menguasai). Di pertengahan abad ke-19 pemerintah kolonial juga menerapkan kebijakan “mengumpulkan dan membagi”.

Yang dikumpulkan adalah benda-benda arkeologi dan etnografi yang tergolong masterpiece (adikarya) dengan berbagai cara seperti membeli dari penduduk dan mengambil dari berbagai situs dengan berkedok ekspedisi ilmiah. Selain dengan cara damai, sering kali terjadi “perampokan” oleh tentara Belanda. Dalihnya adalah ekspedisi militer ke daerah-daerah yang dianggap membangkang sehingga perlu “dijinakkan”.

Ketika berperang dengan Kerajaan Lombok, sebagai misal, tentara Belanda merampas naskah Nagarakretagama, perhiasan, dan emas dalam jumlah besar. Ketika melebarkan sayap militer di Bali, tentara Belanda merebut perhiasan-perhiasan emas penuh batu delima dan berlian dari Kerajaan Klungkung.

Selanjutnya, atas perintah pimpinan tertinggi di Hindia Belanda, maka semua benda yang diperoleh dengan berbagai cara itu dikirimkan ke Bataviaasch Genootschaap (cikal bakal Museum Nasional) di Jakarta. Dari situ benda-benda tersebut dibagi ke museum-museum di Indonesia dan Belanda untuk diteliti sekaligus dipamerkan.

Kembalidari Leiden

Pada 1977 Indonesia dan Belanda menyepakati Perjanjian Wassenaar. Isi pokok perjanjian tersebut adalah menentukan siapa yang berhak memiliki warisan budaya Indonesia di Belanda.

Sebagai tindak lanjut perjanjian itu, beberapa artefak kuno yang disimpan di Leiden mulai dikembalikan ke Indonesia. Di antaranya arca Prajnaparamita dari masa Kerajaan Singhasari, naskah Nagarakretagama dari masa Kerajaan Majapahit, dan gong raksasa Prabu Geusan Ulun yang berasal dari Sumedang.

Ketiga artefak itu merupakan sebagian kecil dari sekian banyak warisan budaya kita yang kembali ke tanah asalnya. Sesungguhnya, pemerintah Belanda telah menyatakan tidak berkeberatan jika kita meminta kembali barang-barang yang kita perlukan. Kita cukup membuat daftar barang, lalu diajukan melalui saluran diplomatik. Hanya masalahnya apakah kita di sini sudah memiliki anggaran yang memadai sebagai dana perawatan untuk jangka panjang atau belum.

Selain di Belanda, banyak benda purbakala Indonesia masih berada di Thailand. Benda-benda tersebut “terbang” ke Thailand pada saat pemerintahan Raja Chulalongkorn II. Ketika itu pada 1896 beliau berkunjung ke Candi Borobudur. Dalam suatu kesempatan, beliau meminta cenderamata sebuah arca Buddha kepada pemerintah Hindia Belanda.

Ternyata, beliau malah dihadiahi lima arca Buddha yang berasal dari sebuah ruangan penyimpanan arca di Candi Prambanan. Diberikan pula beberapa arca singa, arca raksasa penjaga, dan berbagai ornamen candi.

Mula-mula benda tersebut tidak diberikan. Tetapi dengan persetujuan Gubernur Jenderal, benda-benda purbakala sebanyak delapan gerobak dibawa dari Magelang ke Semarang, kemudian diangkut ke Thailand. Cerita tentang arca-arca ini pernah diuraikan oleh arkeolog R. Soekmono dalam beberapa buku dan makalah beliau.

Sebenarnya H.H. Patijn, J.F. Niermeijer, dan Dr. I. Gronemann tidak setuju kalau benda-benda tersebut dibawa ke Thailand. Pada 1926 Dr. P.V. van Stein Callenfels mengirim seorang petugas Oudheidkundige Dienst (Jawatan Purbakala) ke Bangkok untuk melakukan pemotretan terhadap benda-benda itu.

Ternyata, di luar benda-benda batu dari Candi Borobudur, banyak artefak lain juga berada di Thailand. Artefak-artefak itu berupa berbagai arca dari masa agama Buddha dan agama Hindu, fragmen relief dari Candi Prambanan, dan sejumlah benda batu dari Jawa Tengah/Jawa Timur. Sebagian besar benda-benda tersebut diketahui ditempatkan di Museum Bangkok, sebagian lagi ditaruh di Wat Phra Keo atau Grand Palace.

Uniknya, beberapa arca masih dipuja oleh masyarakat Thailand sampai sekarang, seperti arca Boddhisatwa dari Plaosan dan arca Ganesha raksasa dari Singhasari. Padahal, arca Ganesha berasal dari masa Hindu, sementara mayoritas masyarakat Thailand beragama Buddha.

Umumnya benda-benda tersebut berada dalam keadaan utuh dan baik. Selain itu diketahui, sejumlah benda purbakala Indonesia masih berkeliaran bebas di art-art gallery dan kolektor-kolektor barang antik Thailand. Sampai saat ini warisan-warisan arkeologi Indonesia masih tersimpan di sekitar 30-an negara, baik di tangan pemerintah maupun di tangan lembaga penelitian dan perseorangan.

Sepatutnyalah benda-benda itu kita minta kembali. Selain demi gengsi juga untuk menyadarkan masyarakat kita, betapa pentingnya keharusan melestarikan peninggalan masa lampau. Warisan-warisan itu bisa menjadi sumber inspirasi, sarana pemahaman sejarah, objek pariwisata, dan berbagai fungsi lain. Mengapa bangsa lain mampu merawatnya, sementara kita pemilik yang sah justru mengabaikan warisan-warisan itu, terlebih yang masih berada di mancanegara? Dengan kembalinya artefak-artefak tersebut, tentu saja kita harus menyiapkan museum yang berkualitas.***

Penulis: Djulianto Susantio

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun