Nama prasasti pastinya sudah populer, terutama bila dihubungkan dengan peresmian proyek-proyek pembangunan. Pejabat negara semisal presiden ataupun menteri, sering kali membubuhkan tanda tangan pada prasasti batu. Pada zaman sekarang, peresmian suatu proyek pembangunan memang hampir selalu dilengkapi dengan penandatanganan prasasti.
Tradisi menuliskan prasasti berasal dari masa lampau. Penemuan prasasti merupakan bukti paling awal adanya tradisi tulis di Nusantara. Sebelum dikenalnya prasasti, masyarakat Nusantara hidup dalam masa prasejarah. Sejauh ini, tulisan tertua terpahat pada prasasti yupa yang ditemukan di Kalimantan Timur. Prasasti itu ditulis dalam aksara Pallawa dan bahasa Sansekerta, yang merupakan pengaruh kebudayaan India.
Kata prasasti berasal dari bahasa Sansekerta, arti harfiahnya adalah ’puji-pujian’. Secara luas prasasti dapat diartikan sebagai ’piagam, maklumat, surat keputusan, undang-undang, dan tulisan’. Prasasti terbanyak berasal dari masa klasik sejarah kuno Indonesia, yakni abad ke-5 hingga ke-15 Masehi. Sejumlah prasasti ditulis pada masa sesudahnya. Prasasti beraksara Arab, Latin, bahkan Mandarin juga banyak terdapat di Nusantara.
Hari Jadi
Prasasti merupakan sumber tertulis yang dipandang paling penting karena di dalamnya terkandung unsur-unsur penanggalan. Selain itu, prasasti menyebutkan nama pejabat dan alasan mengapa prasasti tersebut dikeluarkan. Makanya prasasti dari masa lampau banyak dimanfaatkan oleh masyarakat sekarang, salah satunya untuk menentukan hari jadi sebuah kota.
Hari jadi kabupaten Kediri di Jawa Timur, misalnya, ditetapkan 25 Maret. Hal itu sudah kesepakatan akhir yang ditandai dengan rapat DPRD setempat. Tentu pemilihannya tidak dilakukan sembarangan. Ahli epigrafi (ilmu yang mempelajari aksara dan bahasa kuno) M.M. Soekarto K. Atmodjo lah yang menganalisisnya berdasarkan Prasasti Harinjing A.
Prasasti Harinjing terbuat dari batu, ditemukan di perkebunan Sukabumi di Pare, Kediri. Kini prasasti tersebut disimpan di Museum Nasional dengan nomor inventaris D 173. Tulisan pada prasasti menggunakan aksara dan bahasa Jawa kuno. Intinya menyebutkan bahwa pada 11 Suklapaksa bulan Caitra tahun 726 Saka (identik dengan 25 Maret 804 Masehi), para pendeta di daerah Culangi memperoleh hak sima atas daerah mereka karena telah berjasa membuat saluran sungai bernama Harinjing.
Dari uraian lainnya Soekarto menyimpulkan bahwa Kediri berasal dari kata ”diri” yang berarti ”adeg” (berdiri), lantas mendapat awalan ka yang dalam bahasa Jawa kuno berarti ”menjadi raja”. Selanjutnya terjadi perubahan toponim dari Kadiri menjadi Kediri.
Hari jadi Kabupaten Blitar, juga di Jawa Timur, bersumber dari Prasasti Balitar I yang bertarikh 5 Agustus 1324. Dasarnya adalah pembacaan J.L.A. Brandes, yang antara lain menyebutkan Balitar dijadikan daerah swatantra di bawah naungan Kerajaan Majapahit. Di sini pun terjadi perubahan toponimi dari Balitar menjadi Blitar. Hingga kini tidak kurang belasan kota berhasil ditentukan hari jadinya berdasarkan pembacaan terhadap prasasti.
Aus dan rusak
Umumnya prasasti terbuat dari berbagai jenis bahan yang tahan lama, seperti batu dan logam. Hanya beberapa prasasti dituliskan pada lontar, itu pun mengundang perdebatan, yakni masuk koleksi epigrafi ataukah koleksi filologi (ilmu yang mempelajari naskah kuno). Dari ketiga jenis bahan, lontar adalah materi yang tidak dapat bertahan lama. Meskipun begitu, batu dan logam juga tetap tidak dapat melawan kuasa alam. Panas, hujan, dan angin ditambah faktor lain, seperti kotoran hewan dan getaran, merupakan musuh prasasti yang sulit dihindari. Apalagi banyak prasasti masih terdapat di tempat aslinya, umumnya di wilayah terpencil, bukit, atau pegunungan. Kalaupun sedikit mendapat perlindungan, itu karena sudah diberi cungkup.