Pasti kita semua mengetahui bahwa Nusantara sangat kaya dengan karya budaya tradisional yang beraneka ragam. Banyak daerah juga mempunyai karya seni yang dihasilkan secara turun-temurun, salah satunya berupa kain tradisional. Beberapa jenis kain dibuat dengan proses yang sangat rumit dan memakan waktu berbulan-bulan. Proses pembuatan kain semacam ini, sebagian sudah punah. Untuk itulah kita perlu melestarikannya, antara lain dengan penyelenggaraan pameran semacam ini.
Begitu kata Kepala Museum Nasional Intan Mardiana mengawali sambutannya. Selama seminggu Museum Nasional di Jalan Medan Merdeka Barat 12, Jakarta Pusat, menyelenggarakan pameran kain tradisional Nusantara bertajuk “Seribu Nuansa Satu Indonesia”. Pembukaan pameran pada 14 November 2016 dan berlangsung sampai 20 November 2016.
Kali ini pameran diikuti 34 museum dari seluruh provinsi di Indonesia. Pameran ini dimaksudkan agar masyarakat luas, khususnya generasi muda, mengenal keragaman kain tradisional Nusantara. Selain itu memberikan informasi dan edukasi tentang khasanah kain tradisional Nusantara serta mengungkapkan keterkaitan historis kultural masyarakat Indonesia melalui kain. Ada pun tujuannya adalah untuk membuka wawasan dan meningkatkan pemahaman serta kecintaan generasi muda terhadap kebudayaan nasional, khususnya kain tradisional Nusantara.
Sebelumnya pameran kain tradisional pernah diadakan di Museum Provinsi Bali (2007), Museum Provinsi Lampung (2012), Museum Provinsi Jawa Tengah Ronggowarsito (2013), Museum Provinsi Jawa Timur Mpu Tantular (2014), dan Museum Sumatera Barat Adityawarman (2015). Penekanan pameran pada provinsi. Namun pameran kali ini menekankan pada teknik pembuatan.
Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid mengatakan, Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki sekitar 13.500 pulau dan 1.340 suku bangsa. Dengan latar geografis-kultural semacam itu, Indonesia begitu kaya dengan keanekaragaman budaya, baik yang bersifat tangible maupun intangible. Salah satu warisan budaya Indonesia yang telah diakui dunia internasional adalah kain tradisional.
“Hampir setiap daerah di Indonesia memiliki kain tradisional dengan corak, motif, bahan, dan metode pewarnaan tersendiri. Praktik pembuatan kain tradisional tidak hanya dilandasi oleh kebutuhan praktis akan sandang, tetapi juga sebetulnya mengandung nilai budaya yang begitu kompleks. Beberapa kain bahkan dibuat dengan proses yang sangat rumit dan dalam kurun waktu hingga berbulan-bulan. Oleh karena itu ada kain tradisional yang menjadi sangat langka karena pembuatannya yang memakan banyak tenaga,” demikian ujar Hilmar. Hilmar berharap pameran ini bisa dilakukan secara bergilir di museum-museum yang ada di setiap provinsi.
Kulit Kayu dan Kulit Binatang
Kemungkinan besar, pakaian yang paling awal terbuat dari kulit kayu. Teknik pembuatannya tidak ditenun tetapi ditempa dari bagian dalam kulit pohon dan kemudian dilukis dengan desain warna-warni. Inilah yang disebut kain kulit kayu. Dari sini beralih ke teknik ragam hias pra-tenun, yang secara universal dikenal dengan kata ‘ikat’. Sebenarnya ‘ikat’ bukan merupakan teknik tenun tetapi teknik rintang warna.
Selembar kain dapat juga dihiasi menggunakan teknik rintang warna seperti batik, jumputan dan tritik, teknik sulam dan bordir, menjahitkan tambalan kain perca padanya, atau menambahkan manik-manik yang cantik dan payet yang berkilau.
Pada bagian lain sambutannya, Intan Mardiana mengatakan, pada awalnya pakaian di Nusantara dibuat dari bahan yang sangat sederhana. Selain kulit kayu digunakan kulit binatang, serat, daun-daunan, dan akar tumbuh-tumbuhan. Setelah manusia mengenal tradisi menenun, manusia mulai membuat pakaian dengan benang yang dipintal dari bulu domba, sutera, dan lainnya.
Seusai pembukaan, saya pun bergegas menuju ruang pameran. Berhubung ramai pengunjung, saya cuma melihat-lihat sepintas. Berbagai koleksi yang saya amati antara lain kain kulit kayu. Beberapa provinsi yang mengenal tradisi ini antara lain Papua, Kalimantan Timur, Sulawesi Tengah, dan Kalimantan Tengah.
Uang Kampua
Yang menarik penglihatan saya adalah secarik kecil kain tenunan koleksi Museum Negeri Provinsi Sulawesi Tenggara. Dalam katalogus disebut kampua. Ditulis dalam katalogus, kain tenun tangan berukuran tertentu, dulu pernah digunakan sebagai mata uang di Buton. Kain ini sangat kuat, ditenun dengan benang pakan dan lungsi digandakan atau bertiga, dan selalu memiliki ragam hias garis-garis searah lungsi. Kain yang berukuran kecil, dibuat dari benang kapas putih pintal tangan dan kain yang berukuran lebih besar dibuat dari kapas coklat.
Menurut legenda, uang kampua diciptakan oleh Ratu Buton kedua bernama Bulawambona. Beliau memerintah sekitar abad ke-14. Karena diciptakan oleh seorang wanita, maka uang lokal tersebut disebut kampua. Dalam bahasa kuno, kampua berarti ‘kelamin wanita’. Namun ada yang memperkirakan kampua berarti sebilah tenun, berasal dari Bahasa Cina. Kemungkinan besar, kampua merupakan nama sindiran yang diberikan pada masa kemudian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H