Biasanya masyarakat awam mengenal tinggalan arkeologi hanya berupa barang atau bangunan, misalnya keramik, koin, prasasti, fosil, dan candi. Namun, ada satu tinggalan masa lampau yang terbilang unik dan langka.
Tinggalan itu bukan berupa barang yang bisa dipindahkan, bukan pula berujud bangunan besar dan kokoh. Banyak sebutan terhadap tinggalan yang satu itu. Ada yang mengenalnya sebagai lukisan gua. Ada pula yang bilang seni gambar cadas (rock art). Namun secara sederhana namanya gambar telapak tangan (hand stencil).
Gambar telapak tangan merupakan tinggalan dari masa prasejarah atau masa sebelum dikenalnya sumber tertulis. Biasanya terdapat pada gua-gua purba yang berusia ribuan tahun. Bukan hanya di Indonesia, berbagai belahan dunia pun memiliki gua-gua sejenis. Di Indonesia gambar telapak tangan terdapat pada dinding gua-gua prasejarah di Sulawesi Selatan, Kalimantan Timur, Sulawesi Tenggara, Kalimantan Barat, Maluku, dan Papua.
Kajian
Kajian tentang gambar telapak tangan pernah dilakukan oleh tiga staf pengajar Jurusan Arkeologi UI, yakni R. Cecep Eka Permana, Karina Arifin, dan Ingrid H.E. Pojoh. Mereka berupaya mengidentifikasi jenis kelamin pembuat/pemilik dari gambar telapak tangan tersebut.
Seiring dengan perkembangan ilmu arkeologi dan diakuinya gambar gua dalam kajian ilmiah, maka representasi jender mulai diselidiki dengan mengkaji bentuk-bentuk yang digambarkan dalam gambar gua, serta berusaha menafsirkannya sebagai penggambaran perempuan atau laki-laki.
Kajian tentang jender muncul bersamaan dengan gerakan feminisme. Kaum feminis mengkritik pandangan androsentris dalam menafsirkan data arkeologi, misalnya model “laki-laki pemburu”. Model ini merupakan sistem jender yang menampilkan bahwa laki-laki lebih dominan daripada perempuan. Begitu Conkey & Spector (1998: 16) menulis sebagaimana dikutip R. Cecep Eka Permana dalam makalahnya “Permasalahan Interpretasi Jenis Kelamin Gambar Telapak Tangan Gua Prasejarah” pada Diskusi Ilmiah Arkeologi, 5 Oktober 2015.
“Namun, informasi mengenai jender tidak selalu tersedia dengan mudah. Bentuk-bentuk yang digambarkan tidak selalu memperlihatkan dengan jelas perbedaan seks, kecuali kalau memperlihatkan phalus, vagina, atau payudara.
Demikian pula alat-alat atau kegiatan yang ada dalam suatu gambar gua tidak selalu dapat diidentifikasikan dengan baik yang menunjukkan laki-laki atau perempuan. Dalam kaitannya untuk eksplanasi atau interpretasi, maka arkeologi sering menggunakan analogi dengan data etnografi,” begitu uraian Cecep.
Manning menulis, berbagai suku bangsa di dunia memiliki pola yang khas antara laki-laki dan perempuan. Pola tersebut bersifat turun-temurun secara genetis tiap suku bangsa. Jari telunjuk (forefinger) dan jari manis (ringfinger) dapat mengungkapkan identitas jenis kelamin, karena sejak janin hormon estrogen berperan dalam pertumbuhan jari telunjuk, dan hormon testosteron berperan pada pertumbuhan jari manis.