Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lirik Lagu Indonesia Raya Mengandung Alur Filosofi yang Berkesinambungan untuk Persatuan Indonesia

31 Oktober 2016   15:03 Diperbarui: 3 November 2016   05:54 2295
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy memberikan sambutan (Dok. Kelompok Pencinta Museum Indonesia)

Direktorat Sejarah, Minggu, 30 Oktober 2016 menyelenggarakan acara bertajuk “Merayakan Indonesia Raya, 88 Tahun Lagu Kebangsaan” di Taman Ismail Marzuki. Acara ini dihadiri pelajar, mahasiswa, komunitas, guru, dan undangan lain. Direktorat Sejarah merupakan bagian dari Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Saat ini Direktorat Sejarah dipimpin oleh Ibu Triana Wulandari. Sementara ketua panitia acara ini adalah Pak Edi Suwardi.

Acara dimulai pukul 17.00 dengan pemutaran film Pancasila. Aktor Tio Pakusadewo berperan sebagai Soekarno, menceritakan sejarah tersusunnya Pancasila. Di sela-sela acara ada waktu untuk sholat magrib sekaligus makan malam. Saya sendiri karena datang pukul 16.30, langsung makan nasi kotak yang disediakan panitia.

Acara inti dimulai dengan pidato Soekarno oleh aktor Tio Pakusadewo. Selanjutnya beberapa nyanyian oleh paduan suara Gita Bahana Nusantara. Pertama dipimpin oleh dirigen Koesbini (saya lupa nama lengkapnya tapi anaknya Pak Koesbini, pencipta beberapa lagu perjuangan). Selanjutnya dirigen dipegang Purwacaraka, seorang pemusik terkenal kita. Oh ya, acara ini disiarkan oleh TVRI, entah live atau tapping, saya belum jelas. 

Yang menarik, seorang violis muda Sigit Ardityo Kurniawan memainkan lagu Indonesia Raya menggunakan biola asli milik W.R. Soepratman. Dengan pakaian putih-putih, Didiet—begitu ia dipanggil—sangat menjiwai betul peran W.R. Soepratman. Saat ini biola asli W.R. Soepratman disimpan di Museum Sumpah Pemuda, Jalan Kramat Raya 106, Jakarta Pusat. Sebelumnya, sekitar sepuluh tahun lalu, biola asli itu dimainkan oleh alm. Idris Sardi, yang mendapat julukan “Violis Maut”.

Indonesia Raya

Biasanya lagu Indonesia Raya dinyanyikan sebelum kegiatan oleh instansi-instansi pemerintah atau partai politik. Atau juga dalam setiap upacara dan kegiatan resmi pemerintah.  Namun sayang lagu ini dinyanyikan secara datar, bahkan tidak lengkap. Bahkan banyak yang tidak tahu kalau syair lagu kebangsaan ini sebenarnya terdiri atas tiga stanza atau kuplet. Yang selama ini dikenal masyarakat berupa satu stanza.

"Sudah sejak kecil kita nyanyikan tapi kita tidak perhatikan sejarahnya. Tidak juga memperhatikan dinamikanya, makanya kita ingin memberikan perhatian khusus" begitu kata Direktur Jenderal Kebudayaan Hilmar Farid. Kegiatan di TIM tersebut diselenggarakan untuk mendudukkan kembali lagu kebangsaan ini di jalur sejarahnya yang benar.

Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid memberikan sambutan (Dok. Kelompok Pencinta Museum Indonesia)
Dirjen Kebudayaan Hilmar Farid memberikan sambutan (Dok. Kelompok Pencinta Museum Indonesia)
Menurut Hilmar, para pendiri bangsa di masa lalu begitu menaruh perhatian besar terhadap musik dalam kehidupan berbangsa. Peraturan Pemerintah Nomor 4 Tahun 1958 adalah bukti perhatian yang besar itu. Dalam Pasal 4 ayat 2 disebutkan bahwa lagu kebangsaan itu adalah pernyataan perasaan nasional, dalam rangkaian pendidikan dan pengajaran. 

Lagu Indonesia Raya pertama kali diperdengarkan pada Kongres Pemuda II 27-28 Oktober 1928, yang kemudian menghasilkan Sumpah Pemuda.  Lagu ini tergolong salah satu lagu kebangsaan yang sulit untuk dinyanyikan dibanding lagu kebangsaan beberapa negara lain. Purwacaraka juga mengakui hal ini. Kata Purwa, nadanya bervariasi dari sangat tinggi ke sangat rendah.

Nah karena berstatus lagu kebangsaan, maka lagu Indonesia Raya tidak boleh digunakan secara sembarangan. Misalnya digunakan untuk reklame atau jingle iklan, baik seluruhnya maupun cuma sepotong bait. Mengingat hukumannya tidak sesuai—bayangkan para pelanggar hanya dikenakan hukuman kurungan selama-lamanya tiga bulan atau dengan denda sebanyak-banyaknya lima ratus rupiah, maka dibuatlah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2009.

Makna pandu

Syair lagu Indonesia Raya pada acara itu dibahas oleh seorang akademisi IPB yang khusus mendalami syair lagu Indonesia Raya, Gunawan Wiradi (82). Ternyata kata 'pandu' dalam syair lagu kebangsaan Indonesia ini, memiliki makna yang sangat dalam. Namun sayangnya kondisi Indonesia saat ini tidak mencerminkan hal dimaksud.

Perlu ditekankan di sini, kata Gunawan, masalahnya bukan sekadar hafal-menghafal lirik lagu seperti anak kecil, melainkan bagaimana sikap kita terhadap lagu kebangsaan sebagai simbol identitas bangsa.

Selanjutnya ia mengatakan, “Jika dicermati, lirik lagu Indonesia Raya itu, dari stanza I sampai dengan stanza III itu, bukanlah sekadar rekaan-rekaan sajak agar enak didengar, melainkan mengandung alur filosofi yang berkesinambungan. Kunci untuk memahami hal ini bisa dilihat dari lirik baris 4, 5, dan 6 dari setiap stanza”.

Stanza 1
Stanza 1
Stanza-2
Stanza-2
Stanza 3
Stanza 3
Direkam Yo Kim Tjan

Hilmar bercerita, pada awalnya rekaman lagu Indonesia Raya berbentuk keroncong. Pada masa pendudukan Jepang, rekaman lagu berubah. Uniknya, karena pemerintah Belanda “takut” akan lagu Indonesia Raya, maka mereka mencatat segala pelanggaran penduduk. Jangankan menyanyikan, menyenandungkan pun dilarang. Tapi ada segolongan masyarakat yang bandel. Para pandu, kalau melewati rumah pejabat Belanda, hampir selalu menyenandungkan Indonesia Raya. Tapi begitu pejabat Belanda keluar, mereka kabur.

Soal lagu Indonesia Raya versi keroncong, saya pernah diperdengarkan oleh Udaya Halim sekitar 2-3 tahun lalu. Udaya adalah pemilik Museum Benteng Heritage di kawasan Pasar Lama Tangerang. Ia memiliki piringan hitam tersebut. Seingat saya, salinan lagu tersebut pernah diberikan kepada Agus Nugroho, yang ketika itu menjabat Kepala Museum Sumpah Pemuda.

Menurut cerita Udaya, W.R. Soepratman pernah berkata kepada Yo Kim Tjan untuk merekam lagu Indonesia Raya satu tahun sebelum Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928.  W.R. Soepratman dan Yo Kim Tjan  merupakan kawan dari satu kelompok popular orkestra yang sama.  Udaya mendapatkan cerita itu dari putri bungsu Yo Kim Tjan, Kartika pada tahun 2015 setelah melakukan riset selama tiga tahun.

Piringan hitam tersebut masih disimpan oleh Yo Kim Tjan sampai 1957. Yo Kim Tjan menyimpan piringan hitam asli tersebut sesuai dengan pesan W.R. Soepratman sebelum meninggal pada 1938. “Tolong dijaga, Pak Yo. Ini untuk kemerdekaan kita,” wasiatnya. Sayangnya, piringan hitam asli beserta ratusan salinan disita oleh Jendral A.W.S Mallaby. Pada 1950 Presiden Soekarno meminta Belanda untuk mengaransemen lagu Indonesia Raya menjadi versi mars yang kita nyanyikan saat ini.

Saya dengar ada yang meragukan biola asli W.R. Soepratman itu KW-1 atau KW-2. Soalnya, ada info bahwa Ibu Sud, yang dikenal sebagai pencipta lagu anak-anak, pernah melihat di kongres pemuda itu ada dua biola. Nah, PR buat sejarawan nih. Sejauh mungkin harus melacak jejak biola W.R. Soepratman.

Beberapa anggota Kelompok Pencinta Museum Indonesia (Dok. Kelompok Pencinta Museum Indonesia)
Beberapa anggota Kelompok Pencinta Museum Indonesia (Dok. Kelompok Pencinta Museum Indonesia)
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Muhadjir Effendy pada acara tersebut menyampaikan seruan agar lembaga pendidikan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi, memulai dan mengakhiri setiap pelajaran dengan menyanyikan lagu-lagu nasional.

Sementara Purwacaraka meminta agar pemerintah menetapkan nada dan kunci untuk lagu Indonesia Raya. Selama ini dikenal kunci G (karena memakai biola) dan kunci F. “Sebaiknya lagu yang resmi itu dimasukkan dalam website. Dengan demikian instansi atau masyarakat yang membutuhkan, bisa mengunduh secara cepat,” demikian usul dari Purwa.  

Rupanya W.R. Soepratman sudah memiliki visi jauh ke depan lewat lirik lagu Indonesia Raya. Kata-katanya begitu mengena dan masih relevan dengan masa kini. Semoga Indonesia Raya dan Sumpah Pemuda, yang waktu itu didukung pula oleh golongan Tionghoa dan Arab, membawa persatuan Indonesia. Indonesia yang subur, makmur, tentram, dan damai.***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun