Menurut Yusmaini, dengan ditemukannya genteng, lantai bangunan dengan bentuk dan ukuran yang bervariasi, serta struktur yang diperkirakan bekas tembok, menunjukan bahwa rumah-rumah yang dibangun di area Sentonorejo sangatlah mungkin merupakan kompleks bangunan besar yang ada di kota Trowulan pada masa lalu, yang dihuni dalam waktu yang cukup panjang (abad ke-14 – awal abad ke-16 Masehi).
“Kawasan ini merupakan tempat tinggal dari golongan yang memiliki kedudukan tinggi di dalam pemerintahan masa Majapahit, yaitu kelompok bangsawan,” kata Yusmaini. Bahkan, katanya lagi, tidak menutup kemungkinan bahwa area keraton raja tidak berjauhan dari Sektor Sentonorejo (I, II, III, IV, V), melihat adanya perlakuan “khusus” pada lokasi ini.
Perlakuan khusus tersebut adalah penempatan kawasan permukiman ini di antara empat jalur kanal yang mengelilinginya. Bukan hanya itu, ruas kanal di bagian timur yang membujur utara – selatan agaknya secara khusus ditambahkan anak jalur kanal yang menembus permukiman di Sentonorejo. Anak jalur kanal ini (Outlet jalur Y5) tentu memiliki fungsi khusus, misalnya transportasi, keamanan, atau fungsi lain yang mendukung keberadaan permukiman penting ini. Demikian kata Yusmaini.
“Hasil penelitian Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di Sektor Sentonorejo menyimpulkan bahwa sisa-sisa struktur bangunan, artefaktual sisa bangunan, peralatan kehidupan sehari-hari (tembikar, terakota, keramik, dsb.), dll. eksis pada masa akhir Majapahit, sekitar abad ke-15 hingga awal ke-16 Masehi,” lanjut Yusmaini.
Pra-Majapahit
Dari ceramah tersebut masyarakat jadi mengetahui bahwa Situs Trowulan telah dihuni jauh sebelum masa Majapahit, yaitu sejak masa Mataram Kuna (abad ke-10 M) era pemerintahan Raja Mpu Sindok. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya tiga buah prasasti tembaga dari masa Mpu Siṇḍok, yakni prasasti Alasantan (861 Śaka atau 939 Masehi) yang ditemukan di desa Bejijong, Prasasti Kamban (863 Śaka atau 941 Masehi) yang ditemukan di desa Temon, dan Prasasti Harahara atau Trowulan VII (888 Śaka atau 966 Masehi).
Temuan stupika dari Candi Gentong, dengan huruf yang tertulis pada permukaan temuan tersebut berasal dari abad ke-10 Masehi, memperkuat dugaan bahwa bangunan keagamaan tersebut telah berfungsi sejak abad ke-10.
Sebuah prasasti berangka tahun 1203 Śaka (1281 Masehi) dari masa pemerintahan raja Kertanagara ditemukan pula di komplek makam Putri Cempo, di Trowulan. Prasasti ini memperingati penanaman pohon boddhi pada 1203 Śaka (//pangadĕg ning boddhi i śaka 1203). Di Dukuh Lemahtulis (sekarang bernama dukuh Kedungwulan), Desa Bejijong, Trowulan, ditemukan pula sebuah arca batu Mahâkṣobhya yang pada bagian lapiknya dituliskan sebuah prasasti berbahasa Sanskerta dari raja Kertanagara. Prasasti ini, menurut Yusmaini, menyebutkan pentahbisan raja Kertanagara sebagai Jina di pekuburan yang bernama Wurara (smaśane wurare namni) pada 1211 Śaka (1289 Masehi).
Yusmaini juga meneliti keramik. Dari hasil analisisnya terhadap kotak-kotak ekskavasi di situs Trowulan, data keramik yang tertua berasal dari keramik Cina Dinasti Tang, keramik Lima Dinasti, dan keramik Song Utara, yang paling dominan berasal dari abad ke-10 Masehi. “Keramik-keramik tertua tersebut merupakan barang-barang Changsa (Provinsi Hunan), barang Yue (Zhejiang), barang Ding (Hebei), dan barang Guandong (Provinsi Guandong) yang memang memproduksi keramik untuk diekspor ke Asia Tenggara, termasuk Nusantara,” jelas Yusmaini.