Memang banyak prasasti batu, walaupun batunya masih utuh, tetap bertahan hingga kini. Namun disayangkan, hurufnya tidak terbaca lagi. Yang ironis, ada prasasti batu yang terpenggal menjadi beberapa bagian. Bahkan ada yang pecah berkeping-keping.
Diperkirakan ada berbagai penyebab kerusakan prasasti, antara lain sengaja digodam oleh masyarakat sezamannya. Hal ini pernah dinyatakan oleh epigraf Boechari berdasarkan analisisnya terhadap Prasasti Pereng (856 M), temuan dari Bukit Ratu Baka. Ketika pertama kali dijumpai, prasasti tersebut sudah dalam keadaan berkeping-keping. Berdasarkan kondisi itulah Boechari menafsirkan bahwa prasasti itu pasti sengaja diremukkan.
Prof. Dr. Agus Aris Munandar dalam makalahnya “Aksara yang Hilang pada Prasasti Batu: Terpupus atau Dipupus?” (2012) mengatakan di wilayah Jawa Timur cukup banyak prasasti batu yang aksaranya tidak jelas lagi. Aksara pada prasasti-prasasti tersebut tidak bisa dibaca karena sangat tipis di permukaan batu. Padahal, menilik bahan batunya, sangat tidak mungkin jika aksara pada prasasti tersebut rusak tergerus oleh hujan dan panas.
Adanya prasasti yang rusak juga pernah termuat dalam Laporan Penelitian Epigrafi di Wilayah Propinsi Jawa Timur, Berita Penelitian Arkeologi No. 47 (1996)tulisan Machi Suhadi dan Richadiana K. dikatakan, “Di Desa Bulugledeg, Kecamatan Bendo, Kabupaten Magetan ditemukan prasasti baru.
Karena aus dan rusak maka bagian yang berangka tahun dan nama raja sudah tidak terbaca. Hanya bentuk tulisan dan nama pejabat yang masih terbaca, yaitu ‘…mahamantri i sirikan mpu…’. Ini menunjukkan bahwa titah raja tersebut berasal dari zaman Kadiri (1042-1222 M)”.
Amburadul
Beberapa koleksi prasasti amburadul bisa dilihat di Museum Nasional Jakarta. Hampir semua koleksi prasasti di Museum Nasional merupakan peninggalan pemerintah kolonial Belanda lewat lembaga Bataviaasch Genootschap van Kunsten en Wetenschappenyang berdiri pada 24 April 1778.
Menurut laporan sebuah komunitas pencinta cagar budaya, sebuah prasasti pernah digelindingkan oleh orang-orang tak bertanggung jawab dari atas bukit sehingga pecah berkeping-keping.
Di beberapa desa di Indonesia, keberadaan prasasti dipandang sebagai barang keramat. Prasasti disiram dengan bunga lalu dibersihkan dengan sikat. Hal itu mengakibatkan aksara dalam prasasti menjadi rusak dan aus sehingga tidak terbaca oleh para epigraf.
Yang tragis justru adalah pengerusakan oleh lembaga pelestari budaya sendiri, yakni museum. Di sebuah daerah, prasasti dibiarkan saja di luar gedung. Karena kehujanan dan kepanasan, akhirnya huruf menjadi aus.