Mohon tunggu...
Djulianto Susantio
Djulianto Susantio Mohon Tunggu... Freelancer - Arkeolog mandiri, senang menulis arkeologi, museum, sejarah, astrologi, palmistri, olahraga, numismatik, dan filateli.

Arkeotainmen, museotainmen, astrotainmen, dan sportainmen. Memiliki blog pribadi https://hurahura.wordpress.com (tentang arkeologi) dan https://museumku.wordpress.com (tentang museum)

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Ketahui Cara Peneliti Membaca Aksara dan Bahasa Kuno pada Prasasti

11 September 2016   19:18 Diperbarui: 12 September 2016   12:58 693
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Poster kegiatan sinau di Facebook

Mereka yang belajar atau mendalami epigrafi dan filologi pastilah tahu bahasa apa yang digunakan. Epigrafi adalah ilmu yang mempelajari prasasti, umumnya lewat media batu atau logam. Filologi adalah ilmu yang mempelajari naskah kuno, umumnya lewat media rontal atau daun tal. Namun boleh dibilang keduanya memiliki kesamaan, yakni berhubungan dengan aksara dan bahasa kuno.

Prasasti dan naskah merupakan sumber sejarah penting. Meskipun begitu, prasasti dianggap lebih penting karena umurnya lebih tua daripada naskah. Sejauh ini prasasti tertua berasal dari abad ke-5 Masehi, yang berarti dimulainya masa sejarah. Prasasti dapat bertahan lama karena ditulis di atas bahan yang keras seperti batu dan logam. Berbeda dengan naskah yang ditulis di atas bahan yang relatif lunak sehingga tidak mampu bertahan lama.

Prasasti merupakan sumber sejarah terpenting karena umumnya mengandung pertanggalan atau tarikh. Bahkan ada yang unsur-unsur penanggalannya lengkap, seperti tahun, bulan, dan pasaran. Namun kendala terbesar untuk menguak informasi masa lampau adalah memahami prasasti itu. Seingat saya, banyak langkah harus dilakukan untuk menangani prasasti, yakni mengalihaksarakan (ke dalam Bahasa Latin), membaca, dan menerjemahkannya.

Selain itu kita harus mampu menafsirkannya karena kalimat dalam prasasti sangat pendek sehingga untuk mengertinya kita perlu kemampuan ekstra. Biasanya para epigraf melakukan perbandingan dengan karya sastra (naskah) dan/atau berita asing yang sezaman. Di pihak lain, banyak bagian kosong harus diisi dengan berbagai hipotesis, yang mengandalkan kekuatan imajinasi dan kejelian si peneliti.

Dalam dunia epigrafi dikenal beberapa cara untuk menganalisis suatu prasasti:

  1. Pertama adalah analisis bentuk. Hasilnya adalah klasifikasi yang pada akhirnya dapat menentukan ciri-ciri khusus suatu prasasti dari masa tertentu. Misalnya demikian, dari masa kerajaan A umumnya prasasti berbentuk segi empat, sementara dari kerajaan B berbentuk lonjong,
  2. Kedua, diplomatik, yakni mempelajari bentuk prasasti, gaya bahasa, dan ungkapan-ungkapan khusus sehingga menunjukkan ciri-ciri prasasti dari suatu masa tertentu,
  3. Ketiga, analisis bahan, untuk mengetahui bahan-bahan apa saja yang umumnya dikeluarkan oleh suatu kerajaan: batu, logam, ataukah lainnya,
  4. Keempat, analisis hubungan, untuk mengetahui apakah prasasti berhubungan dengan artefak-artefak lain. Semakin berhubungan, tentu semakin mudah penafsirannya,
  5. Kelima, analisis fungsional. Analisis ini dilakukan berdasarkan pembacaan dan penafsiran isi prasasti,
  6. Keenam, analisis teknologi prasasti, yakni menafsirkan bagaimana penulis prasasti menggores atau mengukir batu/logam,
  7. Ketujuh, analisis bahasa, yakni untuk mengetahui makna atau arti suatu kata. Terkadang untuk analisis bahasa saja, para epigraf memerlukan waktu bertahun-tahun, seperti yang pernah terjadi pada Prasasti Wadu Tungki. Di dalam prasasti itu antara lain disebutkan kata-kata bhalang geni (lempar api), ilang (hilang), dan langit (udara). Setelah dikaji mendalam baru diketahui bahwa ketiga kata itu bermakna: ada peperangan di alam terbuka sehingga banyak orang terbunuh”.

Dalam menghadapi prasasti, para epigraf sering menemui berbagai kendala. Apalagi bila prasasti yang ditemukan berupa pecahan atau aksaranya sudah aus. Akibatnya pembacaan menjadi tidak lengkap atau sempurna. Untuk mendapatkan kebenaran pembacaan, dibutuhkan pengetahuan paleografi (ilmu yang mempelajari aksara kuno).

Prasasti Harinjing Koleksi Museum Nasional
Prasasti Harinjing Koleksi Museum Nasional
Contoh kesalahan pembacaan adalah demikian. Pada Arca Camundi terdapat tulisan kuno yang bagian angka tahunnya hampir hilang. J.L. Moens dan C.C. Berg membacanya 1254 S (= 1332 M) sehingga dihubungkan dengan Tribhuwanottunggadewi, salah seorang Raja Majapahit. Epigraf lain L. Ch. Damais membacanya 1214 S (= 1292 M) sehingga dihubungkan dengan Raja Kertanegara.

Karena dari sebuah kepingan prasasti disebutkan nama Sri Maharaja Digwijaya ring Sakalaloka, yang merupakan gelar Raja Kertanegara, pembacaan Damais lah yang kemudian diikuti.

Kesulitan lain adalah menafsirkan isi prasasti. Umumnya prasasti ditulis dengan berbagai bahasa yang sekarang sudah tidak digunakan lagi (bahasa mati). Selain itu struktur kalimat dalam prasasti amat berbeda  dengan struktur kalimat dalam kitab-kitab sastra. Umumnya prasasti ditulis dalam bentuk prosa, sementara karya sastra ditulis dalam bentuk puisi (kakawin). Hal ini menyulitkan upaya perbandingan.

Kesulitan penafsiran juga disebabkan kalimat dalam prasasti ditulis sangat ringkas dan tatabahasanya tidak selengkap pada karya sastra. Dalam prasasti pun banyak dijumpai istilah teknis yang tidak pernah dijumpai pada karya sastra.

Contohnya penafsiran mengenai tokoh Haji Wurawari dari Lwaram sebagaimana disebutkan Prasasti Pucangan. Satu pendapat mengatakan Haji Wurawari merupakan Raja Malaysia yang diperalat oleh Sriwijaya untuk menyerang Kerajaan Dharmawangsa Teguh. Menurut pendapat lain, Haji Wurawari berasal dari Pulau Jawa. Soalnya gelar Haji hanya terdapat di Jawa, begitu alasannya.

Bagaimana suatu prasasti dianggap absah? Untuk meneliti keabsahan prasasti dikenal metode kritik sumber. Kritik sumber ada dua macam, yaitu kritik eksternal dan kritik internal. Kritik eksternal antara lain melakukan analisis bentuk tulisan. Prasasti yang tulisannya jelek, misalnya, harus dicurigai asli atau palsu. Sedangkan kritik internal melihat dari dalam, yakni struktur bahasa dan isi prasasti.

Selain itu para pakar harus mengadakan perbandingan dengan sumber sejarah lain, seperti karya sastra dan berita asing. Masalahnya, kadang-kadang prasasti tidak memuat angka tahun sehingga kita tidak tahu dari masa siapakah prasasti tersebut berasal.

Biasanya para pakar melakukan perbandingan dengan prasasti-prasasti yang ada angka tahunnya, terutama perbandingan bentuk huruf (orthografi), gaya bahasa, istilah-istilah yang dipakai, dan nama-nama pejabat yang dituliskan.

Sayang masyarakat yang berminat pada aksara-aksara kuno semakin langka. Untunglah ada segelintir masyarakat yang tertarik belajar aksara dan Bahasa Jawa Kuno. Setiap bulan biasanya mereka menyelenggarakan kegiatan yang disebut Sinau Aksara Jawa Kuno.

Poster kegiatan sinau di Facebook
Poster kegiatan sinau di Facebook
Kegiatan ini diikuti oleh berbagai kalangan, seperti mahasiswa, karyawan, pelajar, bahkan dokter. Tempat yang digunakan biasanya museum, seperti Museum Trowulan, Museum Airlangga, dan Museum Mpu Tantular. Bahkan di lapangan, seperti di lokasi Prasasti Mantyasih, Magelang.

Sinau aksara Jawa Kuno diprakarsai oleh sejumlah komunitas peduli sejarah dan budaya di Jawa Tengah, Yogyakarta, dan Jawa Timur. Pengajar utamanya adalah Nugroho Pambudi, lulusan Pendidikan Sejarah dari Universitas Negeri Malang dan Goenawan A. Sambodo, lulusan Jurusan Arkeologi Universitas Gadjah Mada. Setiap kali berlangsung kegiatan, biasanya diikuti belasan peminat. Bahkan jumlah peminat semakin bertambah sebagaimana terlihat dari kegiatan Minggu, 11 September 2016.

Menurut ingatan saya, kegiatan mereka sudah berlangsung sejak 2015. Peserta yang semakin banyak tentu menunjukkan keinginan untuk melestarikan Bahasa Jawa Kuno semakin besar. Semoga kegiatan mereka memperoleh perhatian serius dari pemerintah. Kita harus bangga dan mendukung upaya yang penuh idealisme itu. Saat dunia semakin modern, masih banyak masyarakat yang tetap berminat pada kekunoan.

Yah, kita beruntung mempunyai orang-orang 'gila' macam Tapak Jejak Kerajaan, Medang Community, dan Komunitas Jawa Kuno Sutasoma. Semoga mereka mampu menangani berbagai prasasti dan naskah yang masih belum tuntas dibaca demi kejayaan Nusantara.***

Suasana Sinau Aksara Jawa Kuno di Museum Mpu Tantular, Minggu, 11 September 2016 (Koleksi Tapak Jejak Kerajaan)
Suasana Sinau Aksara Jawa Kuno di Museum Mpu Tantular, Minggu, 11 September 2016 (Koleksi Tapak Jejak Kerajaan)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun