Rupa-rupanya kakek saya seorang penggemar buku. Puluhan bukunya diwariskan kepada tante saya, yang kemudian beralih ke saya. Sebagian besar buku tersebut berupa buku-buku astrologi.Â
Ada pula tentang keris, batu permata, dan ilmu silat. Rata-rata buku-buku itu berusia lebih dari 60 tahun. Buku yang terbanyak berasal dari Boekhandel (penerbit) Tan Khoen Swie.
Masyarakat pencinta buku yang hidup pada masa sekarang, mungkin masih terasa asing dengan nama Tan Khoen Swie (TKS). Nama itu memang sudah lama tidak terdengar.Â
Padahal, puluhan tahun yang lalu nama TKS begitu beken di berbagai kalangan. Terbukti buku-buku yang diterbitkan Boekhandel TKS selalu membanjiri pasaran, menjadi best seller, dan laris terjual bagaikan kacang goreng.
Sejarah perbukuan dan penerbitan di Indonesia sangat boleh jadi tidak bisa dilepaskan dari nama TKS. Meskipun dibidani oleh kalangan minoritas di Indonesia —ketika itu kaum pribumi sedang terjajah sehingga banyak di antara mereka tidak mampu baca tulis— TKS berhasil mencetak pribumi-pribumi Indonesia menjadi intelektual ternama.Â
Ketika itu TKS didukung segolongan warga Tionghoa yang bermodal dan memiliki idealisme untuk meningkatkan harkat dan martabat bangsa Indonesia.
Meskipun namanya belum setenar Balai Pustaka, tidak dipungkiri kalau kaum tua sekarang masih mengenal atau mengingat nama TKS. Pada zamannya, Boekhandel TKS merupakan penerbit besar dan ternama, meskipun beroperasi dari daerah Kediri di Jawa Timur.Â
Penerbit TKS lahir sekitar tahun 1915, beberapa tahun sebelum Balai Pustaka (penerbitan besar di Jakarta yang dipelopori pemerintah Belanda) berdiri.Â
Pada awalnya untuk membesarkan perusahaannya, TKS banyak dibantu oleh penulis-penulis Tionghoa, seperti Tjoa Boe Sing, Tan Tik Sioe, Sioe Lian, Tjoa Hien Tjioe, dan Tan Soe Djwan.
Tak ayal lagi, ketika itu TKS merupakan penerbit bergengsi dan ternama. Untuk mencari naskah buku, TKS tidak segan-segan mengundang para penulis dari berbagai daerah untuk bekerja sama dengannya.Â