Biasanya banyak orang menyimpan barang-barang atau surat-surat lama secara sembarangan. Karena merasa sudah tua, lapuk, kusam, dan sebagainya benda-benda itu malah dibuang. Namun bagi sementara orang, bisa jadi benda-benda tersebut sangat bermanfaat. Sebagai benda kenangan atau memorabilia salah satunya. Bisa juga karena sayang, menarik, atau aneh. Hal terpenting karena yang bersangkutan termasuk orang yang rapi, teliti, atau memang karakter perawat.
Ibu saya termasuk orang yang rapi menyimpan barang. Salah satu barang kesayangannya adalah boneka yang menggambarkan wajah Shirley Temple. Ketika itu Temple dikenal sebagai bintang film cilik dari AS. Di dalam dus pembungkus boneka, saya temukan bon pembelian bertahun 1939. Tertera toko Mampang lengkap dengan alamatnya.
Foto boneka itu pernah saya posting di Facebook. Tak disangka, dari foto dan faktur berlanjut ke diskusi berbagai topik. Yang pertama tentang Toko Mampang di Mampangweg, Batavia-centrum. Ada yang berpendapat tempat tersebut berada di daerah Mampang seperti yang dikenal sekarang. Ada yang menyanggah, karena dulu daerah Mampang masih hutan belukar. Jadi tidak mungkin di sana, kata seorang teman.
Meskipun faktur tersebut berukuran kecil dan bagi banyak orang dipandang tidak bermanfaat, bagi saya pribadi dan juga teman-teman di Facebook, jelas mengundang memori masa lalu yang mengasyikkan. Banyak unsur terselip di selembar surat kecil itu, antara lain sejarah Jakarta, konservasi kertas, dan jejak keluarga.
Menurut ibu saya yang kini berusia 86 tahun, boneka tersebut ada cacad pada bagian mata. Ini karena dicongkel tentara Jepang yang memeriksa dengan ketat setiap barang milik penduduk. Mungkin takut ada tersimpan rahasia. Maklum ketika itu Jepang memang berkuasa di Nusantara pada 1942-1945.
Ibu saya juga bercerita bahwa boneka tersebut dibelikan oleh ibunya, jadi nenek saya. Soalnya ibu saya merupakan anak wanita pertama. Ketiga kakaknya adalah pria.
Dalam faktur tertera pula harga boneka 8,5 Gulden. Nah berapa patokannya, itu masih saya lacak. Siapa tahu ada Kompasianer yang bisa membantu. Sekadar gambaran, pada 1947 kurs 1 dollar adalah Rp17. Entah kalau gulden.
Ibu saya punya barang lain berupa mesin jahit merk Merdeka. Kata ibu saya, mesin ini diimpor almarhum ayah saya dari Jepang. Ada sepuluh mesin jahit yang diimpor. Nah, mesin jahit yang tersisa ini merupakan hasil keuntungan penjualan.
Barang lain yang tersisa adalah tempayan buatan Singkawang. Tinggi tempayan itu sekitar 80 sentimeter dengan diameter atas 40 sentimeter. Dulu nenek saya menggunakan tempayan ini sebagai penampung kecap. Setau saya memang nenek saya dan ibu saya pembuat kecap rumah tangga. Produksinya hanya dijual kepada pemesan.
Boleh dibilang saya hanya menerima warisan barang-barang lama. Maklum, saya lulusan arkeologi, jadi dianggap pintar merawat barang-barang lama. Teman-teman saya banyak berseloroh, "Bikin museum aja". Mudah-mudahan pada kesempatan lain saya bisa sedikit berbagi tentang barang-barang lama yang saya miliki.***
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H