Berlenggang sambil tersenyum
dengan tangan yang mengepal virus
ditatapnya isi dunia
hanya sekadar bertanya
dalam hati: siapakah yang berani?
Diliriknya mayat-mayat yang bergelimpangan
sambil melemparkan masker
terguncang juga nuraninya
namun, takdir sudah mendengkur
dalam selimut kabut yang bertengger
Sementara kesunyian yang makin dalam
seperti dalam botol yang makin gelap
seperti alam yang selalu menggoda
untuk dieksploitasi semaunya
tinggal kerontang padang sepi nun di sana
Apalah artinya jiwa yang lelah tersesat
setelah tersungkur dalam lahad yang sempit
meronta sia-sia, karena takdir sudah berkata
sampai disini saja, sampai disini saja
nasibmu hanya menjadi beban yang lain
Seluruh muka bumi telah dijelajah
seluruh penghuninya telah dipilih
siapa yang masuk, siapa yang keluar
dalam kepalannyaÂ
hanya meronta sebentar, kemudian diam
Tiada kesombongan manapun yang tersisa
karena semuanya tidak peduli
karena mereka enggan berbagi
tiada keluhan lagi yang memilukan
sebab dalam tangannya apapun bisa terjadi
Kemanapun ia melenggangÂ
selalu tersenyum manis, dalam wujudnya
yang tak kasat mata, dalam pelukan maut
karena virus yang disebarkannya
tidak bisa dihentikan dan memang tidak mau
Wahai, siapakah yang berani
membawa pedang sakti untuk menantangnya
sebelum segala sesuatunya usai
sebelum ia berpulang ke alam sana
dalam sorak sorai yang gegap gempita
Jakarta, 13 Juli 2020
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H