Mohon tunggu...
Djohan Suryana
Djohan Suryana Mohon Tunggu... Administrasi - Pensiunan pegawai swasta

Hobby : membaca, menulis, nonton bioskop dan DVD, mengisi TTS dan Sudoku. Anggota Paguyuban FEUI Angkatan 1959

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Korut Menang Tanding dengan AS

13 Juni 2018   10:24 Diperbarui: 13 Juni 2018   21:27 542
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Akhirnya pertemuan antara Donald Trump, 72, Presiden Amerika Serikat (AS) dan Kim Jong Un, 34, Pemimpin Korea Utara (Korut) kesampaian juga. Pertemuan di Singapura pada tanggal 12 Juni 2018 akan dicatat sebagai pertemuan bersejarah bagi perdamaian di Semenanjung Korea dan perdamaian dunia.

Padahal, pada tanggal 25 Mei 2018, Trump sempat mengirim surat pembatalan kepada Kim karena merasa dilecehkan oleh pernyataan pejabat Korut. Ternyata pernyataan Trump ditarik kembali setelah dilakukan komunikasi yang intensif di antara kedua belah pihak.

Kenyataan adalah bahwa Pertemuan Singapura tidak mungkin terjadi kalau presiden AS bukan Donald Trump. Dengan gaya kepemimpinannya yang serba kontroversial dan melanggar etika yang berlaku umum, Trump betul-betul seorang presiden yang sulit diterka jalan pikirannya. Sampai-sampai ada yang berpendapat nanti setelah Trump tidak menjadi presiden AS, para pejabat AS akan sulit untuk menormalkan kembali  tata-krama birokrasi dan etika berpolitik yang saat ini dianggap telah jungkir balik.

Pertemuan Singapura dianggap sangat penting bagi Trump, bahkan, lebih penting daripada pertemuan G-7 yang buru-buru ditinggalkannya tanpa menandatangani komunike bersama lagi. Dari Kanada Trump langsung terbang ke Singapura. Ada yang beranggapan bahwa dengan melakukan pertemuan bersejarah ini, nama Donald Trump akan terukir dalam sejarah perdamaian dunia sehingga citra negatif pribadinya di mata sekutu-sekutunya akan terselamatkan. Bagi rakyat AS sendiri, hal ini dapat membuktikan bahwa Trump adalah seorang presiden yang patut dibanggakan. Apalagi kalau nanti ia  memperolah Hadiah Nobel Perdamaian.

Sementara itu, Kim Jong Un tentunya sangat berbangga hati bisa duduk bersama dengan seorang presiden dari negara adidaya yang sangat berpengaruh dan sangat "ditakuti" karena tindakannya yang tidak bisa diduga dengan karakter temperamental serta sifat megalomania yang menonjol. Kakek dan ayahnya pun tidak pernah memperoleh kesempatan untuk berunding langsung dengan presiden AS. Tampaknya Jong Un dan Trump  memiliki karakter yang sama sehingga cocok satu sama lain seperti yang kelihatan dalam liputan TV di Singapura. 

Sejak semula memang Jong Un dikenal sebagai seorang diktator dari sebuah negara komunis satu-satunya di dunia yang memiliki senjata nuklir. Kebandelannya untuk terus melakukan percobaan senjata nuklir serta peluru kendali jarak jauh (Intercontinental Ballistic Missiles, ICBM) yang konon bisa menjangkau daratan AS, telah meresahkan dunia, terutama AS, Jepang dan Korea Selatan (Korsel). Hal ini telah membuat Jong Un memperoleh citra negatif sebagai "monster yang menakutkan". 

Tetapi justru  dengan kebandelannya itu, Korut memperoleh perhatian khusus dari AS sebagai negara yang terlibat langsung dalam masalah keamanan dan perdamaian di Semenanjung Korea. Sanksi ekonomi yang dijatuhkan oleh AS dan PBB ternyata tidak mempan. Karena Korut menganggap bahwa dengan memiliki senjata nuklir maka "bargaining position" mereka menjadi kuat, senjata nuklir betul-betul dijadikan "senjata" diplomatik untuk "memeras" Korsel dan AS. Dan Kim Jong Un telah memanfaatkannya dengan brilian dan sukses. Tentunya secara diam-diam, ia juga memperoleh dukungan moral dari "toako"nya, China.

Meskipun kesepakatan Kim Jong Un dan Donald Trump yang sudah ditandatangani tersebut masih prematur untuk dinyatakan berhasil, namun hal ini telah menjadi landasan kuat bagi keduanya untuk dapat merealisasikan perdamaian yang sesungguhnya di Semenanjung Korea. Namun demikian, tak tertutup kemungkinan akan terjadinya penyimpangan, bahkan, kegagalan bisa saja terjadi mengingat karakter Trump dan Jong Un yang serba kontroversial dan temperamental dan sulit diduga yang bisa meletup sewaktu-waktu apabila ada pihak lain yang menyulutnya. Apalagi Jong Un yang selama ini dikenal sebagai orang yang nekad dan "berani mati". Masing-masing pihak bisa saling melempar tanggungjawab dan cuci tangan. Namun, paling tidak, penyatuan (unifikasi) Korut dan Korsel memiliki prospek yang lebih bagus pada masa yang akan datang.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun