Setelah melihat "pertunjukan" sidang Majelis Kehormatan Dewan (MKD) selama ini, saya merasa kasihan melihat gaya mereka  menampilkan diri serta ingin dipanggil sebagai "Yang Mulia". Dengan berpakaian jubah merah putih.anggota MKD bertindak sebagai jaksa dan hakim sekaligus. Cara mereka bertanya seakan-akan mereka adalah orang yang paling benar dan paling berkuasa. Padahal, mereka hanyalah anggota DPR biasa, yang katanya, mewakili rakyat Indonesia. Entah rakyat yang mana, karena pada kenyataannya mereka mewakili kepentingan diri sendiri dan partai politiknya sendiri.
"Korban" pada babak pertama adalah Sudirman Said, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Jabatannya sebagai menteri telah diinjak-injak. Sudirman diperlakukan layaknya sebagai terdakwa, padahal ia adalah orang yang ingin memulihkan nama baik DPR karena ada anggotanya, bahkan, ketuanya sendiri, yang telah diduga melanggar etika. Sudirman sebagai pengadu sekarang kedudukannya menjadi "yang diadukan". Seolah=olah Sudirman dipersalahkan karena melakukan pengaduan tersebut. Sudirman dianggap tidak berhak melakukan pengaduan, sehingga dianggap telah mencemarkan nama baik DPR. Apalagi anggota MKD yang berasal dari Golkar paling garang mencecar Sudirman. Untunglah Sudirman bukan orang uyang mudah digertak.
Soal legal standing Sudirman dipertanyakan, soal keabsahan rekaman, cara mendapatkan rekaman, dan lain-lain sehingga para "penonton" pementasan sidang MKD tersenut menjadi geram dan tertawa kecut. Ternyata sebutan "Yang Mulia" (His Majesty) membuat kepala mereka makin besar tetapi otaknya makin kecil. Materi utama adalah kebenaran rekaman itu. Percakapan itu telah mencerminkan apa yang terjadi. Tetapi anggota MKD seakan-akan tidak memercayainya, Mereka menganggap bahwa rekaman itu telah direkayasa. Bahkan, karena telah beredar luas di tengah masyarakat, ada yang menganggap Sudirman telah membocorkan rahasia negara. Padahal mereka sendiri meragukan rekaman tersebut.
Dan pada babak kedua, tampaknya mulai ada perubahan sikap anggota MKD. Mereka tidak lagi segarang ketika menjadikan Sudirman sebagai pengadu sekaligus terdakwa. Yang dihadapi adalah seorang saksi utama, bahkan ada yang menyebutnya sebagai saksi mahkota, Maroef Syamsuddin, Presiden Direktur PT Freeport Indonesia (PT FI). Maroef adalah Marsekal Muda TNI-AU dan jabatan terakhir adalah Wakil Kepala Badan Intelijen Negara (BIN). Dan kakaknya adalah seorang Jenderal TNI-AD, Syafrie Syamsuddin. Anggota MKD pun menyebutnya sebagai Saudara, bahkan, ada yang menyebutnya "Bapak". Dan tidak ada lagi bentakan dan suara keras membahana yang menjadi "bumbu" pementasan.
Dari penjelasannya yang diungkapkan secara runut dan tenang, terbukalah tabir yang menyelimuti kasus "Papa Minta Saham" ini. Jadi memang sejak awal PT FI sudah menjadi incaran Ketua DPR sebagai seorang pengusaha ysng menginginkan ikut menikmati rezeki dari PT FI. Dan Maroef sendiri juga sejak awal sudah curiga ada sesuatu yang tidak beres.
Tidak selayaknya seorang ketua DPR ikut mengurusi perpanjangan izin operasional PT FI. Apalagi sampai minta bagian bisnis dari PT FI. Karena itu, secara instingtif, berdasarkan pengalamannya sebagai intelijen, ia melakukan rekaman, bukan penyadapan. Dan gara-gara rekaman inilah "gunung es" mulai kelihatan wujudnya. Maroef sendiri menyatakan bahwa dalam hal ini tidak ada pencemaran nama baik Presiden dan Wakil Presiden yang direpresentasikan oleh ketua DPR untuk memperoleh saham PT FI sebanyak 20 %.
Bagaimana akhir dari pementasan drama sidang MKD ini?, kita akan melihatnya nanti. Apakah Ketua DPR akan mengundurkan diri atau dipecat oleh MKD, atau apakah kasus ini akan ditangani oleh Kejaksaan Agung nanti, kita lihat saja nanti. Yang jelas pamor Golkar sudah jatuh karena anggota MKDnya ternyata membela mati-matian konconya yang berdasarkan rekaman yang disiarkan terbukti bersalah. Bahkan, Jusuf Kalla, Wakil Presiden dan sesepuh Golkar, menyatakan jangan lagi mengatakan suara Golkar sama dengan suara rakyat. Rakyat sudah tak percaya lagi kepada Golkar.Â
Â
Â
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H