Judul:Â
Gaun malam ke 26
.
pre:Â
Ada kata yang (sering) mengalir lewat aku, lalu bersanding kepada kamu. Pun tak sedikit yang menyeruak dari aku kepada dia. Tak banyak yang hadir dari orang kedua kepada ketiga, atau ketiga kepada keempat. Mungkin ini perasaanku saja.
.
.
.
.
Andaikan kau sadar, tak banyak jejak yang tertinggal di belakang 4 roda kita. Selain hanya bau tak sedap dari keringat yang jatuh dan menetes. Satu demi satu mengucur, setiap kayuh menempuh, selayang sedemikian jalan telah tertempuh.Selamat menanggalkan satu tahun lagi hidupmu, semoga sehat selalu.
"Hemmm," Galang menghela nafas pelan lalu menghentikan liukan penanya. Tak ada lagi yang dapat ia torehkan untuk seseorang, yang sejak dari tadi jadi tujuan. Dari pojok kamar, detik-detik jam dinding menepuknya,
"Ayo sandarkan bahumu, luruskan punggungmu," katanya sambil memperlihatkan deretan angka, 0 0 2 6, tanda tengah malam telah lewat beberapa menit putaran jarum jam.
"Apa?"
"Sudah..."
"Oh ya," Dia tertawa dalam hati. Buset! Tak biasanya jam dindingku romantis, gumammya.Â
Plak! Bantal bau meninju jam dinding. Si empunya tubuh hanya bisa menggerutu, melihat tuannya berlalu menuju pojok kamar untuk berganti pakaian. Siap tidurkah?
"Hai, berat ya? Sini biar aku yang bawa"
"Enggak sih, gak pa pa kok, lihat itu, bentar lagi sampai"
Dua depa lagi sampai, gumam Galang. Matanya melirik singkat wajah ayu sobat satu kayuhnya. Â Duh, cantik sekali dia, aku jadi nggak bisa bicara ha ha ha ha....
"Apa hayo? Kok ketawa sendiri? Aku jelek ya?"
"Eh enggak kok, itu, itu tadi tiba-tiba aku ingat buku catatanku yang tertimpa kuah soto di kantin sekolah kita," elak Galang.Â
"Kamu tu ya, kok yabawa-bawa buku ke sana"
"Abis.. aku...."
"Apa?"
"Pengen, kamu tuliskan sajak, sejumput saja, buat nina bobokkan hamba"
"Hihh, gombal!" timpal sobatnya sambil mendaratkan cubitan mesra
"Aduh"
"Enak?"
"Iya... lagi dong cinta"
"Lagi?"
"Oke, ni!
"Aduuuhh sakit, sakit, sakit"
"Sukurin!"
"Lepasin!"
"Enggak, klo nggak bangun!"
"Hah? Mak?" Galang kaget mendapati emaknya masih gigih mencubit lengannya yang sudah kemerahan.
"Bangun woi!" emaknya makin kesal
"Loh loh, bentar mak, si rambut panjang tadi mana mak? Kok berubah jadi emak? Jangan-jangan emak sudah berguru sama Naruto ya mak?"
"Aduu du du du.. iya mak, diriku bangun.. ampunn"
.
.
.
.
paska:
"Kuk ku kuk ku kuk ku" jam dindingnya berbunyi. Sontak ia menengok ke arah sumber suara. Namun bukan penanda waktu yang jadi akhiran pandangnya, tetapi secarik kertas bertajuk untuk Adinda yang ada di atas meja,
Tulis suratmu, dan ceritakan kisah rindu. Mungkin ini cinta... oh mungkin ini cinta.... *Â
.
.
* Mungkin ini cinta, Fariz RM
Foto (c) @bowobagusphoto
.
.
.
.
Klaten, 5 Mei 2018
Djeng sri saja
 Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H