"Wow.. ow ow owhh, jadi aku tadi melamun panjang? Untung saja, tak ada yang usil mengambil tas kesayangan ini, hemmhh,"
Senyum Jim mengembang, tak ada lagi "All i am all i am" lagi, yang ada hanya secangkir kopi Arabica dari Ethiopia, medium roosting, dan secarik kertas aneh. Tangannya bergerak riang mengambil sajian pahit kesukaannya lalu mendekatkannya pada sang hidung. Â Â Â
"Aroma arabica, arabica... ahh"
Sruput....
"Jadi kau masih menyukai yang pahit dan asam Jim? Belum bertobat juga? Apa yang enak dari rasa pahit dan asam? Bukankah lebih enak bila diberi sedikit gula dan susu supaya manis? Apa? Kamu masih belum bergeming juga Jim? Sadar Jim! Sadar! Aku sedang berbicara padamu! Pada tubuhmu! Hei Jim! Bangun! Bangun!"
"Apa? Siapa kau? Bagaimana kau bisa bicara?" Jim terkejut melihat kertas yang berbicara. Badannya terdorong jauh ke sandaran kursi, yang empuk.. Empuk.... empuk, yang lebih mirip bantal atau guling. Lalu perlahan semuanya berubah menjadi terang benderang, berwarna putih, dan berkilau, seperti pantulan cahaya matahari pada sebuah stetoskop.
"Pagi Jim, bagaimana kabarmu? Sudah enakkah tubuhmu?"
"Su su su... aduh," Jim tersadar namun belum dapat menggerakkan badannya. Pikirannya tercekat, belum mampu membedakan manakah yang nyata dan mimpi. Namun usapan lembut wanita berbaju putih perlahan meyakinkannya bahwa inilah kenyataan.
"Jim, Jim, aku beri obat dulu ya, ini sedikit menyakitkan, tapi akan menyembuhkanmu lebih cepat," kata wanita berbaju putih dengan kalung stetoskop itu lembut.
"Aduh..."
.