Aku meronta-ronta, berteriak keras bagai kemasukan setan. Rasa sakit yang datang dan pergi silih berganti seperti tusukan besi panas yang mengusir keteduhan rasa yang tiada tara. Tolong jangan, jangan, kuteriakkan ke dalam telinga mereka yang sedang berdiri rapat di tembok kamar sambil menahan isak, tetapi... sepertinya mereka tuli...
“Aduh, jangan, jangan!”
“Aku tak ingin kembali, aku tak ingin kembali! Jangan, jangan!” bisikku pada paramedis yang pucatpasi raut mukanya. Namun sia-sia saja, tarikkan itu makin kuat, membawaku masuk ke dalam lorong gelap penuh rasa sakit yang menjepit,aku tak kuat, lalu semua menjadi gelap...
“Suster, suster, bagaimana, bagaimana keadaannya?”
Suara apa itu? Aku tersadar, namun masih melihat kelam saja di kejauhan pandang. Tidak seperti beberapa saat yang lalu, ketika mereka tak bisa mendengarku, semua terasa sejuk dan sangat damai.
“Suster, suster, bagaimana?”
Sungguh aku benci suara itu, aku meronta-ronta, mencari pintu keluar, merobek kekelaman, hingga jatuh terduduk dalam diam saat sebuah kedamaian mengulurkan tangan sambil berkata,
“Sungguhkah kau tak ingin kembali?”
Dan aku hanya sanggup menggangguk, tak mampu berdiri apalagi duduk, sampai kedamaian itu memanggulku dan berkata,
“Baiklah, mari datang kepadaKu...”
Tiiitt...