[caption caption="copyright by bb p"][/caption].
.
.
Duh aku tertampar sehelai pawana. Riak-riak sunyinya berlari menjauh, mengaduh dengan riuh, seperti mendapati diri dalam ketakutan yang sangat!
“Hari ini ada lagi yang mati, Nek!”
“...ini ada lagi yang mati nek!”
Duh, Sang Ilahi, apa yang akan terjadi dengan rentetan peristiwa esok hari? Bukankah semua simpul saling berhubungan satu sama lain dalam algoritma kehidupan-Mu? Ah.. tak jadi ku buka jendela itu, lalu dengan ragu-ragu kubangunkan raga, menapaki lantai yang kasar penuh debu, mencoba mengajak raga bergerak maju membuka pintu.
“Ada seribu pintu keluar, Nek!”
“Mana yang akan kau pilih?”
“Bagaimana bila ada lagi yang mati?”
“Hah?” tersentak aku bangun dari mimpi. Sebuah kebenaran yang menyeruak dengan pilu hadir bersama hangat sinar mentari pagi. Sambil mengusap mata yang masih merah karena gundah, aku merapatkan pendengaran, seribu raungan motor besar terdengar di jalan raya! Sejuta keparat memepet pejalan raya! Demi sebuah kata: raungan sirine tanda kuasa!
“Whathehell!”
“Brak!”
Kata-kata-kata-kata... itulah kuasa
Mengapa mega phone tak lagi nyaring bunyinya?
Bisu-bisu-bisu... merekalah hadirku
Tak layaklah rakyat yang lugu menghardik penguasa dungu!
Hei. Inilah duri ikan yang kurebut dari mejamu!
Jangan pernah kau ambil tanpa muka dan rasa malu
Bukankah aku sudah membayar pajak untuk kerakusanmu?
Mengapa tak jua kau buka pintu?
.
.
.
“Mana pintu yang akan kau pilih, Nek?”
“Ha?” tersentak aku mendapati diri telah masuk kembali ke alam mimpi. Teriakan-teriakan nyaring memaksa masuk ke dalam gendang telinga. Bahkan ketika kusumpal telingaku dengan kedua tangan, ribuan tanya masuk melalui rongga-rongga jiwa yang bolong compang-camping!
“Bagaimana bila ada lagi yang mati, Nek?”
“Bagaimana?”
“Brak.”
Aku kecewa! Aku berlari menembus pintu, pintu pertama kubuka dan kumasuki, kudapati ada lagi yang mati! Kakiku takut, jemariku surut, aku keluar kembali. Pintu kedua kubuka perlahan, bau kematian bercampur bau tambang tembaga! Jiwaku susut, kembali beringsut. Pintu yang ketiga kubuka dengan tiba-tiba, keheningan yang luar biasa menyambut penguburan orang utan tanpa kepala!
“Ahhhhhhhhhhhhhhhhh...”
Kuatnya jeritanku memuntahkan jiwaku, keluar dari rongga mulut, ragaku jatuh, dan jiwaku berlari menembuh ribuan pintu yang belum sempat kujamah, namun tetap saja tanya itu datang memelukku dengan erat.
“Hari ini ada lagi yang mati, Nek!”
“...ini ada lagi yang mati, Nek!”
“Ada seribu pintu keluar, Nek!”
“Mana yang akan kau pilih?”
“Bagaimana bila ada lagi yang mati?”
“Bagaimana?”
.
.
.
Siapakah aku oh jiwaku
Sehingga aku hadir dalam kubur yang bisu?
Pantaskah peluru itu menembus dada kurus penuh nikotin palsu?
Tengoklah raunganku,
Siapakah aku hingga kau riang berseru-seru:
Ada lagi yang mati, ada lagi yang mati, ada lagi yang mati....
.
.
.
Jogjakarta, Maret 2016
Ada lagi yang mati..
janganlah kau cerna dengan buku,
bacalah dengan hati!
Karena,
banyak lagi yang akan mati!
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H