"Sudah!"
Sir angin mendesir, keras bagai kupu-kupu. Dua buah koin yang seakan tak ingin bertemu muka kembali menebar ragu, untuk kesekian kalinya berakhir sama, tak ada. Langkah-langkah kaki Jane memburu, tak hiraukan banyak sesal yang sedang terpapar di belakangnya tanpa kendali, sang pujaan terpekur bak patung besi.
"Jane, aku, aku harus bagaimana?" Jes mengeluh. Taman rindang yang seharusnya penuh dengan kasih dan sayang kini tak lebih dari sekedar onggokan rumput kering kecoklatan, seperti golden section tanpa yin dan yang.
Â
"Well I opened my heart, and I let you in
I promised I'd never love again..."
Â
"Ah?" Jane tersadar dari lamunannya, sebait lagu kesayangan Jes seperti menohoknya dengan keras. Surat berbungkus kertas ungu di bacanya sekali lagi, perlahan-lahan,
Â
di lembah yang dalam kutitipkan sebait khayalan duhai pujaan
sebuah sajak untukmu niscaya esok menjelma baru