Mohon tunggu...
djeng sri
djeng sri Mohon Tunggu... Foto/Videografer - penuliscerita dan freelancer menulis

suka fotografi dan fiksi ;)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[HUT RTC] Seulas Rindu dari Balik Pintu

3 Maret 2016   17:03 Diperbarui: 3 Maret 2016   17:08 68
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption caption="copyright by bowobagus'p"][/caption]

Secangkir kopi hitam sayang, nikmat nian kau hadirkan. Layaknya biduan dalam singgasana sang raja di perantauan, bibir ini sulit sekali untuk tak ciumkan. Meski dahaga telah lama pergi bersama jiwa, pun siksa bak panas padang pasir yang membara, tetap saja bersahaja.

Semangkuk pahit dinda, ajaib nian kau cecapkan. Seperti kelakar sang nabi di gurun-gurun keabadian, tak sedikit pun kudengar segan dari lidah sang tuan, hanya tawa-tawa kecil yang tak ubahnya gula-gula.

Oh, inilah yang Ia kata mukjizat dari balik peraduan, saat lentik jemarimu mengayuh pelan, pelan, dan sangat perlahan. Sungguh hatiku rasa bukan kenisbian yang sedang kau haturkan, melainkan ejaan-ejaan lembut dari khayangan yang menghantarkan hidupku pada pucuk-pucuk kebijaksanaan.

Secangkir kopi hitam duhai sayang, nikmat pahitnya mari kita rasakan. Seolah esok bukan lagi siang bukan pula malam, melainkan dendang merdu penuh gula-gula milik sang Tuan. Mari tebarkan saja gundah gulana serta air mata pada mangkuk si peradaban, niscaya dapat kita jadikan persembahan untuk sang Tuan.

Oh, inilah dunia kita duhai adinda, mereka yang tak sudi menjalin manis lalu bersambut pahit, namun bersambut pahit lalu berakhir manis. S’bab Ia telah bersabda, bahwa: engkaulah sang pantai dan akulah ombaknya, tempat teduh dan damai berkeluh, saat hatiku acapkali sering dilanda riuh dan rapuh.

Sumber inspirasi:

 CIUMAN PERTAMA (Khahlil Gibran)

Itulah tegukan pertama dari cawan yang telah diisi oleh para dewa dari air pancuran cinta.

Itulah batas antara kebimbangan yang menghiburkan dan menyedihkan hati

dengan takdir yang mengisinya dengan kebahagiaan.

Itulah baris pembuka dari suatu puisi kehidupan , bab pertama dari suatu novel tentang manusia.

Itulah tali yang menghubungkan pengasingan masa lalu dengan kejayaan masa depan.

Ciuman pertama menyatukan keheningan perasaan-perasaan dengan nyanyiannyanyiannya.

Itulah satu kata yang diucapkan oleh sepasang bibir yang menyatukan hati sebagai singgasana, cinta sebagai raja, kesetiaan sebagai mahkota.

Itulah sentuhan lembut yang mengungkapkan bagaimana jari-jemari angin

mencumbui mulut bunga mawar, mempesonakan desah nafas kenikmatan

panjang dan rintihan manis nan lirih.

Itulah permulaan getaran-getaran yang memisahkan kekasih dari dunia ruang

dan mata dan membawa mereka kepada ilham dan impian-impian.

Ia memadukan taman bunga berbentuk bintang-bintang dengan bunga buah delima, menyatukan dua aroma untuk melahirkan jiwa ketiga.

Jika pandangan pertama adalah seperti benih yang ditaburkan para dewa di ladang hati manusia, maka ciuman pertama mengungkapkan bunga pertama

yang mekar pada ranting pohon cabang pertama kehidupan.

 

(Kahlil Gibran)

 

 

 [caption caption="Rumpies logo"]

[/caption]

 

Jogja hujan, 03 Maret 2016

Hepi besdai Rumpiesss :)

@djengsri&bowobagus

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun