Mohon tunggu...
djeng sri
djeng sri Mohon Tunggu... Foto/Videografer - penuliscerita dan freelancer menulis

suka fotografi dan fiksi ;)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[HUT RTC] Cinta dalam Sebatang Rokok

2 Maret 2016   00:48 Diperbarui: 3 Maret 2016   11:31 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="copyright by bowobagus'p"][/caption]/terinspirasi puisi/Kahlil Gibran: 

Sore itu, ia hanya duduk-duduk, diam, dan menyelami hari-hari yang telah banyak berlalu. Tak banyak yang terungkap lewat mimik wajahnya yang imut. Satu hal yang mampu kutangkap lewat gerakan tubuhnya hanya sebuah kata: gelisah! Sebab berkali-kali batang-batang rokok filter dibakarnya dengan cepat lalu dihisap dalam-dalam, seakan-akan takkan ada kesempatan lagi untuk menikmati hal itu.

“Mau nambah kopinya?”

“Kkk... kopi?”

“Iya, kulihat cangkirmu sudah kosong...”

“Hemhh.. maaf, jam berapakah sekarang?”

“Jam delapan lebih duabelas menit. Kenapa? Kamu harus pergi?”

“Ha... ha... ha... ha...” tiba-tiba terdengar tawa keras dari seorang pengunjung, di meja sebelah, aku tersentak, menoleh sebentar, dan saat aku kembali ke posisi semula, sebatang rokok sudah terjepit manis diantara bibir bawah dan atasnya.

“Uhuk huk huk”

“Kamu mirip kereta api ya?”

“Kenapa? Kau keberatan aku merokok?”

“Ehh...”

“Kau telah kuberi kesempatan untuk mengambil hak itu beberapa waktu yang lalu...”

“Hak? Maksudmu?”

“Iya, andai kau mengambilnya, tentu kau berhak untuk melarangku merokok hari ini, esok nanti, lusa nanti, selama-lamanya”

“Ohh....”

“Jadi kau melakukan hal ini.... Maksudku merokok, karena aku tak bisa melarangmu ya?”

“Kamu marah? Kecewa? Lalu mau menyakiti tubuhmu sendiri?”

“Marah? Kenapa harus marah? Tak mengambil kesempatan itu adalah hakmu, dan aku tak berhak menghalangimu. So, buat apa aku marah?”

“Trus kenapa mesti merokok lagi?”

“.... Itu hakku”

***

Wussss.... Angin malam bertiup kencang menggoncang-goncangkan tirai warung kopi. Perbincangan kami terhenti sejenak. Dua bola matanya tampak menatap jauh lurus ke depan. Ada sebuah kekosongan yang tergambar di dalamnya. Tenggorokannku mendadak seperti tercekat, tak mampu keluarkan lagi kata-kata.

“Hakku? Hakmu?” dua kata sakti bergulir dalam lirih gumamku. Sembilan belas persen kesadaran hilang, hanyut bersama laju angin malam yang bertiup cukup kencang. Tak terasa sudah hampir pukul sebelas! Betapa lamanya kami berbincang tanpa kehangatan.

***

Teringat kebiasaan burukku yang tak jua hilang, bermain handphone di depannya. Meski ia sedang aktif mengajakku bicara. Mungkin karena jengah, ia lalu minta diri. Namun tanpa ekspresi dan masih terus memainkan gadget itu, aku menahannya,

“Sebentar lagi saja, jangan sekarang...”

Dan aku melakukannya lagi, memainkan handphone sambil menanggapi omongannya. Persis seperti tirai warung kopi yang ditiup angin! Meski bergoyang namun tak pernah berubah, tak pernah jatuh. Aku merasa...

“Inilah aku, aku selalu katakan yang sejujurnya, tak pernah mengada-ada. Bila aku bilang sibuk, memang aku sedang sibuk, bila aku bilang tak bisa, ya berarti memang aku tak bisa!”

“HEI!”

Aku tersentak dari lamunan. Ternyata tanpa sengaja aku meneriakkan kalimat terakhir dalam lamunan panjang tadi, sehingga ia menghardikku dengan keras.

“Ada apa denganmu? Kenapa tiba-tiba berteriak seperti kesetanan?”

“Ehh...”

“Aku tahu itu. Bahwa kau selalu jujur, tak pernah membuat alasan yang bukan keadaan sebenarnya, tapi kau itu... egois!”

“Egois?”

“Ya!”

“Ehh...”

“Kau mau bilang itu hakmu? Silakan! So be it!”

“Tapi kurasa... kau tak pernah memikirkan perasaan orang yang kau ajak berinteraksi! Selalu saja kau dan kau dan kau dan kau lagi. Apa kamu tak pernah hidup di dunia yang sebenarnya? Hah?

“Tapi itu kan hakku...”

“Oke, baiklah, fine.... So, kalo aku mo merokok lagi, mo bangun benteng tinggi, pergi dan tak mau lihat kamu.. itu juga hakku, bukan hakmu!”

“....”

“Dan satu hal yang kuingin kau tahu! Aku jijik bila kau berbaik hati padaku, hanya karena kau ingin membalas kebaikkan yang telah kulakukan padamu!

“Kau perlu tahu, apa yang kulakukan untukmu itu aku lakukan karena aku ingin melayanimu, tanpa kamu harus memberi balasan.”

“Aku bukan rentenir yang meminta kembalian beserta bunganya! Dan bila akhirnya aku menawarkan kesempatan untuk membelengguku itu, bukan berarti aku meminta imbalan atas kebaikkanku, itu adalah sebuah penawaran tanpa keharusan!”

“Bukan kuitansi tanda minta imbalan atas semua kebaikanku!”

“....”

***

Krik krik krik krik, suar jengkerik terdengar menggema dalam kesunyian. Batinku koyak, hatiku terbang jauh ke atas awan. Tak ada yang tersisa selain raga yang bodoh, tua, dan kehabisan waktu. Kepulan-kepulan asap yang sempat buatku resah dan jengah kini berbalik arah, kurindui tanpa henti.

duhai pelita malam, kemanakah ia, gerangan sang pencinta petang?

Jatuh hariku karena sapanya, letih ragaku karena melodinya

oh masih berasapkah mulutnya, masih berbatang-batangkah sisanya?

Seakan-akan ia ciptakan kabut-kabut tebal, hanya tuk halangiku lihat khadirannya...

duhai lentera senja, kemanakah ia, laju yang tak pernah henti

yang menjauh dari hati karena tak ingin sakiti

….

/inspirasi puisi/Kahlil Gibran

[caption caption="copyright by bowobagus'p"]

[/caption]

Jogja masih hujan, 02 Maret 2016

HBD! Rumpies!

[caption caption="/logo Rumpies"]

[/caption]

@Djeng sri

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun