Mohon tunggu...
djeng sri
djeng sri Mohon Tunggu... Foto/Videografer - penuliscerita dan freelancer menulis

suka fotografi dan fiksi ;)

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[100Puisi] Anak-anak Nakal

17 Februari 2016   11:05 Diperbarui: 17 Februari 2016   11:55 187
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="copyright by bowobagus'p"][/caption]

judul: [100Puisi] Anak-anak Nakal

.

.

.

Sssreeekk sreekkk.. bunyi penghapus papan tulis beradu dengan papan tulis yang penuh gambar. Entah berapa lama sang pelukis bersusah payah menorehkan berbatang-batang kapur padanya, yang pasti kini lukisan itu mulai pudar, hilang oleh goresan-goresan penghapus yang lincah dimainkan anak-anak nakal.

"Yesss!" teriak mereka bersamaan saat coretan terakhir tersapu dengan bersih. Tiada lagi lukisan indah pada papan tulis sederhana itu. Mereka lalu tertawa terkekeh-kekeh, nampaknya sangat puas dengan ulah dan hasil perbuatannya. Salah seorang dari mereka duduk dan berkata,

"Itulah hukumnya, bila suka mimpi yang aneh-aneh!"

"Ya, memang pelukis ini sungguh tak tahu diri!" seorang yang lain menimpali

"Benar! Sang guru saja sudah menorehkan sabdanya, bahwa ia telah..."

"Najis!" yang paling kecil berteriak memotong dari ujung ruangan

Dan begitulah, riuh rendah perbincangan mereka makin lama makin menggema, meninggalkan bekas yang tak mudah untuk dihapus, oleh sang pelukis. Ia, yang mereka beri stigma sebagai najis, mahluk yang tak boleh mempunyai mimpi, bahkan satu buah mimpi saja, yang paling dasar dan sederhana, tidak boleh... karena najis.

.

***

.

Aku melihat tingkah mereka dari ujung meja dengan tatapan kosong, mengelus dada, dan membuihkan sebuah kalimat sederhana buat sang guru,

"Sang guru, bila akulah pelukis itu, apakah benar yang mereka lakukan itu?"

".... Amin"

Kuberdiri, menghela kedua kaki menuju tempat membersihkan diri, menyapu raga dengan air, lalu mulai bersujud memohon ampun atas kenajisan yang mereka stigma-kan, sebab aku mulai merasa tak boleh... "hidup" di negeri ini.

.

.

.

Jogja, 17 februari 2016

djeng sri

 

 

 

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun