Dan begitulah, riuh rendah perbincangan mereka makin lama makin menggema, meninggalkan bekas yang tak mudah untuk dihapus, oleh sang pelukis. Ia, yang mereka beri stigma sebagai najis, mahluk yang tak boleh mempunyai mimpi, bahkan satu buah mimpi saja, yang paling dasar dan sederhana, tidak boleh... karena najis.
.
***
.
Aku melihat tingkah mereka dari ujung meja dengan tatapan kosong, mengelus dada, dan membuihkan sebuah kalimat sederhana buat sang guru,
"Sang guru, bila akulah pelukis itu, apakah benar yang mereka lakukan itu?"
".... Amin"
Kuberdiri, menghela kedua kaki menuju tempat membersihkan diri, menyapu raga dengan air, lalu mulai bersujud memohon ampun atas kenajisan yang mereka stigma-kan, sebab aku mulai merasa tak boleh... "hidup" di negeri ini.
.
.
.