[caption caption="copyright by bowo bagus"][/caption]“Wah wah wah, keren sekali baju mbak Tati ya bu?”
“Hemm”
“Wahh ternyata diantar pulang pake mobil?”
“Iya Nar, kenapa?”
“Keren bu,” jawab Danar sekenanya. Ia tak mampu menggambarkan perempuan itu lebih jauh lagi, hanya memandang langkah-langkahnya saja sambil mulutnya terbuka dan meneteskan liur, pengen... gumamnya. Sang ibu memandang putri kecilnya sambil mengurut dada, ampun Tuhanku... lirih bicaranya di kosong pandang pada kejauhan. Sebuah lentera kecil pengusir kegelapan di samping kirinya menoleh pelan, seakan memberi anggukkan dan persetujuan, ya kami ini tidak kaya.
“Dia... dia pasti makan roti yang enak ya bu?”
“Roti roti roti,” sahut penjual roti dari luar rumah kecil mereka
“Ibu ibu ibu, aku mau roti”
“Bang, roti bang!” si ibu berusaha mencegat abang penjual roti
“Eh bu, jangan! Jangan!”
“Loh katanya mau roti?”
“Bukan bu, roti seperti mbak tati”
“Eh?”
“Rotinya Tati enak loh teh, ha ha ha,” Zul mendadak lewat sambil berseru lantang.
“Asem! Awas kau Zul!” Danar hanya melongo mendengar ujar om Zul yang berlari kecil, seakan berpura-pura takut dijewer ibunya. Dalam hati ia heran, om Zul saja bilang enak, pasti beneran enak!
“Sssttt hush! Dah mandi sana Nar!” seru ibunya. Dalam hati ia mengumpat, sialan kau Zul, dasar penjahat kelamin! Sialan kau Tati! Pamer-pamer bodi, duit, baju di depan anakku! Brapa sih para lelaki membayar rotimu?
Jogja, 21 Januari 2016
Hidup adalah pilihan
Djeng sri saja
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H