“Sialan!”
“Kamu ni sudah liar, masih juga ngeces (mengeluarkan air liur) banyak-banyak, asem!”
“Yang kuat mas Arjuna, yang kuat, ahhh,” jeritku tertahan
“Dasarrrr!”
Plak! Plak! Plak! Telapak tangan kiri mendadak hadir untuk ikut serta mewujudkan kekerasan pada rumah pribadi, aduh, duh, duh. Bukan, dia dia Arjunaku yang menempeleng pipiku, namun tangan kiriku, sungguh tangan kiri, benar, benar, tak bohong aku!
“Bruno, Ijah, maryem, Pino, bebi... tolong! Tolong!” aku menjerit sekali lagi, berharap Arjuna bermurah hati dan melepaskanku.
“Sri! Awas kau ya! Cepat masuk sana!” Arjunaku bertambah galak sambil mendorong keras tubuhku masuk sebuah mobil ambulance.
“Dan ingat Sri! Jangan coba-coba lari lagi!” perintah Arjunaku keras. Duh, duh, duh ada apa ini? Aku melihat Arjuna berubah jahat dan tidak cinta, ia, ia, ia berganti muka menjadi dokter rumah sakit jiwa! Duh, duh, duh...
Bruno stanby di sudut sofa, Ijah ngetem di pojok rumah, Maryem duduk manis di teras rumah, Bebi sedang sendiri menanti jemputan kekasih hati. Sepertinya semua sedang melakukan aksi! Lalu aku? Aku? Aku?
.
di mana aku ibu?