[caption caption="copyright by bowobagus'p"][/caption]
#Ia Memeluk Tuhan dan Mencium Setan
“Aku tak membutuhkanmu mbak, secuilpun tak, apalagi segenggam!”
“Sungguh?”
Plak!
Sebait noktah merah meranum di pipi kananku, tujuh jam kejadiannya sebelum lembu-lembu melenguh menyambut tarian gembala di pagi hari yang dingin sekali, aku terluka. Di kaca rias besar si noda merah terlihat makin memudar lalu perlahan membiru, seperti kelu nya hatiku, ini adalah ke tujuh kalinya sejak pertama ia melempar senyum dan (tentu saja) melempar jerat.
“Aku tak membutuhkanmu mbak, secuilpun tak, apalagi segenggam!”
“Sungguh?”
Brak!
Membiru pula kepalan tanganku, menahan kesal diantara urapan-urapan yang dilempar secara membabi-buta dari mulut si penjual surga, aku terduduk diam di depan layar komputer yang menampilkan warna hitam. Ini adalah kesekian kalinya sejak ia menaruh gelas di dalam tempayan agar bekas merah lipstik si tuan tak nampak pada para bawahan, aku tertawa,
“Ha ha ha ha ha”
“Dasar lelaki baji***! Beraninya sama yang lembek-lembek saja! Sini kau lawan lenganku yang keras karena overwork, kakiku kejang karena kelamaan berdiri di depan kau punya tempat duduk!”
“Aku tak membutuhkanmu tuhan, secuilpun tak, apalagi segenggam!”
“Sungguh?”
“Sungguh, lain kali saja tuhan? Maaf pintu ada di depan!”
Lelaki yang kukenal sebagai pengepul uang darah itu tertawa terbahak-bahak melihat si tuhan pergi berlalu melalui pintu bersamaan dengan hadirnya setan dengan senyum simpulnya,
“Ini adalah hari penghakiman tuan, jangan terlalu lama membuat keputusan, laksanakan!” bisik setan perlahan
“Ha ha ha ha ha”
“Sudah kulakukan duhai setan, indah bukan?”
“Lihatlah dia!” tunjuk lelaki itu pada tubuhku, seakan ingin memamerkan keberhasilannya medepakku dari hangatnya ia punya tujuh tahun jeratan.
“Bagus, bagus, teruskan!”
“Ha ha ha ha ha,” lelaki pendek berkulit pucat itu kembali tertawa dengan pongahnya, seakan-akan melihatku telah sangat lemahnya, hingga ia pikir bangkit pun membalas tak dapat jadi nyanyian masa depan ku selanjutnya. Sang setan beranjak pergi.
“Hei! Aku lupa!” tiba-tiba sang setan berhenti lalu membalikkkan badannya,
“Ya tuan?”
“Jangan lupa panggil tuhan di hari Senin dan Jumat, juga tiap pagi sebelum kau punya anak buah banyak mulai bergerak bagai amukan badak!”
“Ya tuan?”
“Siap!”
“Ha ha ha ha ha”
***
“Aku tak membutuhkanmu mbak, secuilpun tak, apalagi segenggam!”
“Sungguh?”
Dan aku melihatnya melipat-lipat ucapan tuhan tuk dijadikan senapan pembunuh harapan bawahan. Masa depan yang gemilang dengan mobil-mobil eropa kelas milyaran telah ada di hadapan, apalagi yang dirisaukan? Asal ada tuhan dan setan, napsu berahiku kan terpuaskan, gumamnya perlahan.
“Ha ha ha ha”
“Ha ha ha ha”
“Ha ha ha ha”
+
Mrican-Jogja, 30 Juli 2015
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H