“Kamu sungguh tega Lis!” Tante kokom menunjuk-nunjuk Wajah Elis dengan penuh amarah, Elis hanya menundukkan wajah dan diam seribu bahasa. Imajinya akan dua dunia yang segera bersatu menjadi dunia baru koyak sudah. Dua pilihan yang sulit kini terhidang di hadapannya, memilih emak hidup atau meninggalkan mak dan mengikuti kata hatinya.
“Kamu gak waras ya Lis!” lirih bisik om Encep menyadarkannya dari lamunan galau yang muncul sesaat. Di depannya terbaring emaknya yang entah sakit tua atau mendadak sakit karena ulahnya? “Ah emak, aku..” Elis bergumam sedih melihat kedua bola mata emak yang gundah melihat langit-langit kamar, ke kiri, ke kanan, terpejam sebentar, terbuka lagi, lalu meneteskan air mata.
“Kamu di mana Elis!” Emak bertanya lirih. Tante Kokom dan om Encep sibuk membuat kode-kode buat Elis agar Elis menjawab bahwa ia sedang meramu obat-obatan tradisional buat emak. Elis mencoba membuka mulut dengan susah payah, air matanya mengalir deras, katanya,
“Ah emak, aku.. aku mencintainya mak…”
“Siapa sayang?” rupanya emak agak kehilangan ingatan akan kejadian beberapa hari yang lalu.
“Ani mak, Ani, Elis cinta Ani mak…”
.
dan dunia dua pun menjadi sunyi