Halo semuanya warga jakarta, opini ini sengaja saya sampaikan setelah Pilkada untuk menghindari kesan bahwa saya mendukung kandidat tertentu. Tujuan saya adalah membuka pikiran kita untuk jeli selalu berpikir kritis demi kebaikan Jakarta kota kita tercinta ini.
Dengan terpilihnya Jokowi dan Ahok, maka berakhirlah pesta demokrasi paling kontroversial yang pernah saya alami seumur hidup saya. Sekedar informasi, Saya bukanlah pendukung Foke, yang sudah jelas kegagalannya memimpin jakarta 5 tahun terakhir ini. Dan saya menghargai kinerja Jokowi dalam prestasinya ketika memimpin kota Solo.
Dalam pengamatan saya pada putaran awal kampanye Pilkada terbersit pikiran bahwa, kandidat lain selain Jokowi menggunakan strategi kampanye yang sangat-sangat konvensional, dengan beredarnya spanduk, poster yang secara tersirat bertuliskan menjatuhkan kinerja kepemimpinan Foke, ada juga yang menggunakan metode syariat keagamaan. Semua hal itu jika di-analogi-kan adalah seperti : nasihat klise orang tua kepada anaknya yang sudah muak dengan kondisi realita.
Namun apa yang dilakukan tim sukses Jokowi sangat berbeda, mereka menggunakan strategi "berpikir terbalik", apa yang telah dilakukan kandidat lain dengan mengotori Jakarta melalui poster dan spanduk, dan ada juga karena bermodal kuat niat banget menggunakan baliho yang sangat besar, lucunya lagi ada salah satu kandidat yang menggunakan slogan "tidak Berkumis" dengan kepanjangan: tidak berantakan, kumuh, dan miskin. Ini adalah slogan paling bodoh menurut saya. namun itu semua tidak dilakukan oleh tim Jokowi ahok. Mereka turun dengan "mendengar", bukan dengan cara "janji, menasehati, dan menghujat",
Setelah berhasil dengan putaran pertamanya, tim sukses Jokowi Ahok mulai membaca kekuatan lawan yang tinggal satu-satunya. Seperti yang kita duga bersama, Tim Foke menggunakan strategi isu SARA, weits tunggu bro, apa anda yakin mereka menggunakan isu tersebut yang secara gamblangpun sudah kita bayangkan? Inilah yang saya maksud dengan kecerdasan intelektual yang sangat memahami permasalahan dan karakter warga jakarta.
Saya mulai saja, pada putaran ke dua, beredar selebaran yang mengatas namakan agama untuk siapa yang akan memimpin jakarta, selebaran tersebut beredar secara eksplisit mudah ditemukan dimanapun. Kemudian dukungan peranan media besar yang secara (mungkin) independen mendukung Jokowi Ahok dengan memberitakan penangkapan oknum-oknum yang menyebarkan selebaran tersebut yang akhirnya mendapat kesimpulan "pembenaran".
Sampai saat ini saya belum tahu siapa yang menciptakan istilah kelompok "nasi bungkus". Media sangat berperan terhadap eksistensi kelompok minoritas itu sampai-sampai jika ada komentar yang membela kubu Foke, langsung di cecar oleh partisipan pro Jokowi Ahok karena telah didukung oleh pemberitaan yang memang berat sebelah.
Jokowi dan Ahok adalah orang hebat yang sangat berdedikasi terhadap pekerjaannya. Namun dua "payung" besar ditambah kekuatan media besar hinggap kepada mereka. yang satu sudah penuh dengan isu dan karakter negatif karena kelakuan pemimpin dan kader-kadernya, dan yang satu lagi "payung" baru yang belum bisa menunjukan ke-dedikasi-annya kepada bangsa ini. Sampai-sampai sebuah baliho besar di per-empatan harmoni meng-klaim bahwa kesuksesan Jokowi-ahok adalah karena peranan partai tersebut.
Nampaknya jokowi-Ahok harus bekerja keras untuk kedua "payung". Untuk memperbaiki dan mengangkat citra kedua "payung" tersebut. Dan tentu saja itu bukan harapan saya, seperti harapan kita bersama, terpilihnya Jokowi Ahok adalah untuk Jakarta yang lebih baik.
Sekarang, tugas kita tinggal ikut berpartisipasi dengan gubernur dan wakilnya yang terpilih untuk menata Jakarta, dan menutup mata tidak peduli terhadap siapa yang ada dibelakang mereka.
Jakarta, 21 September 2012.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H